AL-QUR’AN BERDASARKAN PADA 3 FENOMENA: FENOMENA KEAGAMAAN, FENOMENA ETIKA DAN FENOMENA PERADABAN Idrus Abidin, 9 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber : Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis : Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh : Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah : Idrus Abidin. Prolog. Jika al-Qur’an selalu lebih memprioritaskan rasio aktif yang beragam maka dipastikan ia memilik daya tarik yang unik dan spesial Karena kesesuaiannya secara utuh dengan metode berpikir dan merasa masyarakat. Karena pemenuhannya terhadap harapan-harapan jiwa pada sisi akidah dan sikap. Karena memberikan solusi jitu untuk persoalan-persoalan besar yang seringkali menggelisahkan jiwa mereka. Dengan kata lain, bahwasanya al-Qur’an mengandung hal-hal yang memenuhi kebutuhan manusia terhadap kebenaran, kebaikan dan keindahan (ekstetika) yang merangkum karaktersitik aktivitas keagamaan, etika dan peradaban; dalam waktu yang sama sekaligus. PASAL PERTAMA KEBENARAN ATAU UNSUR KEAGAMAAN Sungguh, kekuatan terpenting yang menjadi titik keunggulan dakwah Islam–menurut hemat kami- terwujud pada metode yang digunakan untuk menyuguhkan kebenaran agama dengan tujuan memberikan jawaban final terhadap perbedaan yang senantiasa terus bermunculan. Setelah beragam agama memberikan jawaban terhadap dua pertanyaan yang begitu besar faedahnya dan sangat mendasar nilainya, yang membuat pemikiran filsafat senantiasa berbeda dan saling betentangan adalah: dari mana saja asal usul alam ini? Dan akan ke mana ujungnya? Maka semua agama berusaha memberikan jawaban berupa sistem yang menyeluruh dalam bentuk akidah dan ibadah yang berbeda sesuai perbedaan zaman dan masyarakatnya (tempat). Bahkan bentuk yang sampai kepada kita sudah sangat besar perbedaan dan pertentangannya pada bentuk, bahkan pada prinsip utamanya. Al-Qur’an memfokuskan sebuah pemahaman bahwa semua kalangan para rasul saling mendukung dan saling menguatkan antara satu sama lain. Mereka kompak menyampaikan satu hakikat kebenaran. Bahwa para nabi satu umat di bawah naungan bendera Tuhan yang Maha Esa. Dan bahwa kesatuan inilah yang telah merangkum semua manusia di masa lalu. Hanya generasi belakanganlah yang menebar benih-benih perpecahan dan permusuhan. Al-Qur’an ketika menawarkan dakwah Islam secara rasional, tidak menawarkannya sebagai dakwah nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam yang terkesan baru dan berdiri sendiri, yang dianggap menyaingi ajaran Musa dan ajaran Masehi, sekaligus berbeda dengan keduanya dari sisi hakikat keagamaan. Tetapi al-Qur’an menegaskan bahwa seorang muslim adalah yang beriman kepada nabi Musa, nabi Isa dan semua rasul pada saat bersamaan. Ia memuliakan masing-masing tanpa perbedaan. Mengimani kitab suci dan prinsip mereka masing-masing. Yakni, bahwasanya seorang muslim menyerahkan diri kepada Allah dan kepada kehendak-Nya yang mengumumkan secara berturut-turut pada lisan para nabi dan rasul. Karena itulah manusia makin tinggi melampaui segala jenis perpecahan dan persaingan. Mereka menemukan pada kesepakatan ini keseimbangan yang tidak mungkin tidak dibutuhkan demi ketenangan jiwa. Karena sepanjang akidahku sepadan dengan akidah yang diumumkan oleh manusia untuk para rasul-rasul itu maka hilanglah sebab yang mendukung penentanganku terhadap akidah tersebut. Jadi, al-Qur’an menyeru untuk kembali kepada kesatuan agama-agama yang orisinil (bukan pluralisme agama. Pent.). Yang mana, jiwa-jiwa agung merasa terhormat, merasa seantiasa terhubung dengannya dan membuka cakrawala jiwa mereka. Tentu ini merupakan langkah penting pertama yang harus dilakukan, lalu setelahnya dijelaskan seputar urgensi sistem dan manhaj dalam Islam. Kita melihat bahwa titik pergerakan yang menjadi fokus utama metode argumen al-Qur’an berpusat pada pemikiran utama, yaitu bahwa di sana ada pencipta yang memiliki kesempurnaan maksimal, kekuatan yang maha hebat, kebaikan yang sempurna, yang menciptakan segala sesuatu dalam wujud ini. Kemudian menundukkannya di bawah keinginan-Nya yang maha sempurna. Rahasia keberhasilan pemikiran ini terletak pada kesesuaiannya secara total dengan kesatuan agama yang hendak dikembalikan oleh Islam ke realitas kehidupan dalam wujudnya yang baru. Karena perpecahan tidak muncul kecuali dari keberagaman. Belum lagi jika ditambahkan bahwa kemuliaan pemikiran ini melampaui semua batasan-batasan sempit pada beragam agama, mengingatkan manusia seputar kebenaran yang kekal, yang selama ini mereka kenal atau memudahkan mereka mengenalnya kembali. Hanya saja, tauhid pertama ini atau agama teoritis ini –sebagimana istilah yang disebutkan oleh al-Qur’an- sempat terhalang atau terselubung di bawah akumulasi keyakinan-keyakinan dan ibadah-ibadah yang ditujukan kepada tuhan-tuhan yang tak terbatas di lingkup orang-orang Arab. Sebagaimana kalangan ahlul kitab sukses dalam menyatukan antara mengesakan Allah sang pencipta dengan beragam tuhan lain yang disembah. Hal yang membuat pandangan orang-orang Arab terhadap ucapan yang menyatakan bahwa tuhan yang beragam itu ternyata hanya satu, terasa sangat aneh dan penuh kebohongan. Bahkan sampai-sampai mereka mengira bahwa keyakinan seputar keesaan Tuhan tidak pernah mereka dengar di lingkungan masyarakat mereka dan tidak pula pada agama-agama langit sebelumnya. Sungguh al-Qur’an kembali merilis pemikiran yang terkubur ini lalu mengembalikan kesuciannya dari beragam kekeruan. Dengan demikian, al-Qur’an tidaklah dianggap menemukan dan menyingkapnya, tetapi al-Qur’an hanya sebatas menghilangkan semua kekeruhan dan penyimpangan yang ada; sama sekali tidak menambahkan hal-hal baru. Demikianlah kita melihat –sebagimana kami telah singgung secara singkat- bahwa kekuatan pemikiran keagamaan ini terpusat pada tabiatnya yang orisinil, sehingga megarahkan kita untuk meyakininya sesuai dengan tingkat kekokohan yang begitu dalam yang dimiliki oleh akar-akarnya pada kedalaman iman para nenek moyang kita terdahulu. Karenanya, kita melihat al-Qur’an –selain pemberdayaannya terhadap argumen-argumen rasional- mengokohkan dakwahnya menuju tauhid dalam sejarah para nabi-nabi pada setiap zaman di masa lalu. Sehingga al-Qur’an menegaskan secara jelas bahwa rasio dan wahyu senantiasa mengawal al-Qur’an untuk mengokohkan akidah Tauhid dan menolak paganisme dan sikap menyekutukan Allah dalam beragam bentuk manifestasinya. Hanya saja, bagaimana kita bisa menjelaskan sebuah hal yang sangat penting seperti ini, yang didukung oleh rasionalitas dan kekokohan orisinilitas dan senantiasa memperbaharui diri secara berkelanjutan dengan ajaran para rasul yang sangat positif, bisa tersembunyi dengan semudah itu dari pikiran orang-orang, lalu digantikan dengan pemikiran yang bertentangan?! Sebabnya adalah karena manusia dengan tabiat aslinya merasa terdorong untuk kagum terhadap kekuatan yang hebat di mana pun mereka mendapatkannya. Termasuk kagum kepada ibadah. Zaman tetap berlanjut dan tidak ada apapun kecuali perbedaan dari sisi tingkatan. Kekuatan alam seperti matahari, pepohonan dan sumber mata air memiliki keajaiban yang mencuri perhatian orang-orang yang merenungkannya. Lalu bagaimana pandanganmu terhadap kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan oleh para penyihir atau para ahli yang menghasilkan mukjizat?! Dengan petunjuk indera luar, akal dengan mudah cenderung menisbatkan setiap fenomena kepada sumbernya secara langsung. Yakni kepada sesuatu yang dilihat secara langsung sebagai efek dari suatu sebab yang hakiki, berpengaruh dan mandiri. Akal tidak bisa lepas dari pengaruh yang real kepada asal-usul yang sesungguhnya (Tuhan). Dari realitas kepada kesimpulan logis kecuali dengan upaya berpikir secara sengaja, hanya saja manusia jarang berpikir demikian. Sementara, salah satu tujuan al-Qur’an adalah mengutamakan upaya seperti itu dan mendorongnya dengan sangat kuat. Al-Qur’an senantiasa mengingatkan kita tentang mustahilnya tercipta makhluk apapun dari ketiadaan tanpa adanya kekuatan Sang Maha Pencipta. Kemustahilan sesuatu menciptakan dirinya sendiri atau sesuatu apapun di alam ini secara mutlak menciptakan sesuatu di bumi dan langit. Tidak pula menciptakan serangga apapun sekalipun semua kekuatan saling bekolaborasi demi tujuan yang dimaksud. Bahkan ketika lalat mengambil sesuatu yang dimiliki manusia terkuat di dunia ini pasti tidak ada yang bisa mengembalikannya. Jadi, semuanya –kecuali Allah- tidak memiliki kekuatan apapun walau hanya sebiji atom di langit dan di bumi; baik dengan kolaborasi atau pun dengan cara mengikut. Tidak ada siapa pun selain Allah yang bisa merubah sistem alam ini dan tidak ada pula yang bisa menghentikannya. Sistem yang bersifat azali yang tidak bisa kita kendalikan dengan intervensi kita, ternyata kekokohannya terkait dengan Allah –sebagaimana halnya semua sistem kausalitas (sebab akibat)- tergantung pada satu kata saja, sesuai kehendak Allah (kun fayakun). Seandainya Allah mau, maka Allah akan menjadikan air hujan terasa asin. Allah membiarkan langit runtuh menimpa bumi. Allah akan hancurkan semua jenis manusia secara keseluruhan. Lalu mendatangkan makhluk baru sebagai pengganti mereka di dunia ini. Sungguh semua jenis dan bentuk kekuatan, murni hanyalah milik Allah. Karena semua jenis sebab, baik yang dekat mau pun yang jauh, kunci-kunci segala persoalan hanya di bawah kendali genggaman sang Pencipta dan hanya tergantung kepada-Nya ujung dan akhirnya. Dengan mendengarkan penjelasan ini, kita cenderung berkeyakinan bahwa di sana ada kekuatan pasti yang tidak bisa diintervensi sedikit pun oleh manusia. Tetapi itu hanya sebuah sisi negatif sepenuhnya yang diharuskan untuk alam ini, di mana tersembunyi secara sempurna hubungan sebab akibat antara sesuatu dengan lainnya. Keyakinan seperti ini –di samping bertentangan denga rasio dan ilmu pengetahuan- juga bertentangan dengan dua kelompok besar ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, ayat yang mendorong untuk memaksimalkan upaya etis secara berkelanjutan. Kedua, ayat yang menjelaskan fenomena dunia dan sejarah antara masing-masing. Solusi yang tepat adalah membatasi setiap kebenaran yang sudah diterima batasan-batasannya. Sehingga kita tidak memberikan manusia dan alam kekuatan pribadi yang mandiri secara optimal. Juga kita tidak pantas menganggap manusia lemah secara mutlak. Ini adalah jalan tengah yang memang al-Qur’an mengarahkan kita agar berhenti di situ. Ada pemahaman bermasalah yang menolak Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam seperti halnya para pencetus mukjizat, sebagaimana mungkin pula ada komentar pada sisi ini bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak menampakkan mukjizat atau bukti-bukti nyata untuk menegaskan nuansa ketuhanan dalam dakwahnya. Padahal sebenarnya pada setiap keadaan yang tidak normal yang mengawal tampilnya para rasul dan semuan nabi untuk menyampaikan tugas risalah mereka dan menjamin kesuskesannya, al-Qur’an tidak melihat itu semua sebagai usaha manusiawi. Karena hanya dengan kekuasaan Allah semua mukjizat ini atau mukjizat itu bisa tewujud melalui tangan-tangan para rasul atau melalui lisan-lisan mereka. Pada risalah Islam pada awal kegiatan dakwahnya, membacakan beberapa ayat al-Qur’an telah merubah kalangan kaum kafir yang penuh dengan sikap keras kepala dari kematian jiwa menuju kepada kehidupan jiwa dan semangat iman. Tentu bukanlah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam yang membuka sekat-sekat pintu keimanan mereka, bukan pula beliau yang membuat kaum muslimin layaknya saudara dengan penuh nuansa cinta di antara mereka karena Allah semata. Bukan pula beliau yang mewujudkan kemenangan keimanan terhadap kekafiran dan kesyirikan. Semua aktivitas dan kegiatan itu terwujud karena izin dan kehendak (keridhaan) Allah. Demikian pula semua bentuk mukjizat yang terwujud melalui tangan-tangan para nabi dan rasul, termasuk di antaranya Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada nilai lebih di sana karena kecerdasaan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang dianggap di atas rata-rata dan bukan pula karena keluasan ilmunya. Sungguh, karunia itu sejak awal hingga akhirnya, kembali kepada intervensi mulia dan penuh kasih sayang dari sisi Allah ta’alaa; sumber sesungguhnya dari semua makhluk, semua ragam ilmu dan semua jenis kebaikan. Demikianlah seputar kesempurnaan Allah secara mutlak dan semua karakteristik-Nya penuh keistimewaan yang mutlak, al-Qur’an mengokohkan bagian pertama terkait hakikat keagamaan (Islam) secara umum. Yang mana, pada intinya bahwa tidak ada apapun dalam wujud ini yang berhak disembah dan pantas ditunduki selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Menguasai. Dan dengan pemikiran serupa, al-Qur’an mengokohkan bagian kedua seputar hakikat keagamaan secara umum; yaitu keimanan seputar kehidupan akhirat, yang mana kita mengarahkan semua amalan-amalan kita lalu kita mendapatkan balasan dari-Nya yang berhak kita peroleh. Di sini kita harus membedakan 2 poin; keabadian roh dan kebangkitan serta kehidupan kembali jasad manusia. Dakwah Islam tidak mengalami penolakan berarati terkait dengan poin pertama, selain khurafat “Burung gagak (al-Hammah)” yang sempat berkembang di tengah masyarakat Arab, bahwasanya itu merupakan bayangan roh yang tampak di malam hari di atas kuburan korban pembunuhan, sambil berkata, “beri aku minum” jika pembunuh sudah dibalas dengan pembunuhan serupa maka hilanglah keberadaannya. As-Sunnah sudah menghilangkan keyakinan jahiliah model seperti ini dengan mengatakan, “tidak ada mitos (laa Hammah)” dan menegaskan kebatilannya. Adapun poin ke-2, kalangan kaum musyrikin memfokuskan penolakan dan penghinaan mereka terhadap aspek ini. Al-Qur’an telah mengajukan argumentasi pamungkasnya dari realitas kehidupan alam ini yang senantiasa terbuka secara aktual. Al-Qur’an menuntut rasio agar mendalami setiap pase dan tahapan yang dilewati manusia dalam perjalan hidup mereka sejak mereka masih berupa zigot hingga lahir sebagai makhluk baru dalam bentuk yang utuh ketika pertama kali dilahirkan. Apakah susah bagi zat yang telah memulai penciptaan makhluk dari sejak pertama tanpa ada makhluk serupa sebelumnya, untuk mengembalikannya kepada kehidupan untuk kedua kalinya?! Al-Qur’an mengarahkan pandangan kita kepada kejadian dan peristiwa yang bersifat musiman: bumi yang kering dan tandus lalu berubah menjadi subur. Al-Qur’an mengokohkan keyakinan seputar kebangkitan jasad tidak saja berdasarkan pada keputusan rabbani, di mana Allah menuntut diri-Nya بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا “betul, itu adalah janji pasti Allah (QS an-Nahl: 38) Tetapi juga merupakan tuntunan keadilan Tuhan dan hikmah yang sengat mulia: لِيُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي يَخْتَلِفُونَ فِيهِ Untuk menjelaskan kepada mereka hal-hal yang dulu mereka perdebatkan dan perselisihkan (QS an-Nahl: 39) وَلِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ Untuk memberikan balasan kepada masing-masing manusia sesuai dengan perbuatan mereka (QS. Al-Jatsiyah: 22) Kalau tidak demikian, maka hidup manusia seolah tanpa tujuan dan tanpa maksud apa-apa. Demikianlah terbangun kesatuan agama yang diserukan oleh al-Qur’an. Sekalipun pemikiran keislaman tetap senantiasa terjaga intisarinya sebagaimana sebelumnya, tentu tidak diragukan kalau ia senantiasa memberikan kemajuan hakiki dengan metode yang digunakan oleh al-Qur’an. Bukan saja karena al-Qur’an mengajukan bukti-bukti dan argumen-argumen yang potensial memuaskan rasio manusia paling bebal sekalipun dan hati orang-orang yang sangat keras. Bukan saja karena al-Qur’an mengajukan persfektif-persfektifnya yang begitu luas dan jelas seputar alam semesta berupa langit dan bumi sekaligus merangkum beragam nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran dari setiap fenomena makhluk secara internal dan secara eksternal, tetapi kembali secara mendasar kepada materi-materi keislaman sendiri yang terkait dengan keesaan dan keistimewaan Allah ta’alaa dan kembalinya roh. Belum lagi jika ditambahkan dengan makna uluhiyah yang memiliki keistimewaan dan keunikan dari sisi kesuciaan, keunikan dan sakralitas khusus yang menjauhkan-Nya dari fisikalisasi berlebihan, dan Dia memiliki kekuatan hebat yang menarik, yang mengarahkam manusia kepada dunia rohani yang tinggi. Semua itu tampak seolah mendapatkan semangat baru yang tidak dirasakan pada masa-masa sebelumnya Terjemahan Kitab fenomena