TIGA JENIS TAHRIF PADA “TAURAT” DAN “INJIL” Wisnu Tanggap Prabowo, 6 Maret 20246 Maret 2024 Wisnu Tanggap Prabowo Bismillahirrahmanirrahim Al-Tahrif artinya perubahan atau pengalihan (al-taghyir), pergantian atau penukaran (al-tabdil).[1] Jadi tahrif bermakna perubahan dengan cara mengalihkan kepada sesuatu yang lain, baik itu maknanya maupun teksnya, atau juga menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dalam konteks perubahan pada kitab-kitab terdahulu, tahrif terbagi menjadi tiga jenis, tahrif makna, tahrif lafaz, dan keduanya.[2] Ibnu Katsir menjelaskan tabiat tahrif sebagai berikut: ثُمَّ شَرَعُوا فِي تَحْرِيفِهَا وَتَبْدِيلِهَا وَتَغْيِيرِهَا وَتَأْوِيلِهَا وَإِبْدَاءِ مَا لَيْسَ مِنْه “Kemudian mereka mulai mengubahnya (tahrif), menggantinya (tabdil), mengalihkannya (taghyir), menakwilkan/menafsirkan (ta’wil) dan menambahkan (ibda’un) apa yang tidak ada di dalamnya.”[3] Selanjutnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah merinci hakikat tahrif yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu: Mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (لبس الحق بالباطل). Pencampuran sedemikian rupa itu membuat kebenaran dan kebatilan tidak lagi dapat dibedakan. Menyembunyikan kebenaran (كتمان الحق). Perubahan kalimat dari tempatnya (تحريف الكلم عن مواضعه). Ada dua bentuk dari tahrif model ini: tahrif makna dan tahrif lafaz. Tahrif dengan lisannya sehingga si pendengar menangkap maksud yang berbeda. Bagaimanakah perubahan yang terjadi pada Kitab-Kitab Allah ﷻ sebelum Al-Qur’an? Terdapat perbedaan di tengah para ulama mengenai hakikat perubahan di dalam Taurat dan Injil. Rinciannya adalah sebagai berikut: Pandangan pertama: Tahrif al-Nash (perubahan pada teks). Pada teks Taurat dan Injil telah terjadi perubahan yang mengakibatkan berbeloknya makna kepada selain dari yang dimaksud. Persoalan apakah perubahan teks (lafaz) ini terjadi pada seluruh isi kitab-kitab terdahulu atau sebagian kecilnya saja, ulama juga memiliki ragam pandangan. Terlepas dari itu, berbicara tentang tahrif model ini, perlu kiranya menyimak pandangan Ibnu Hazm di dalam karyanya al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Oleh banyak ulama, bukan saja di Andalusia tetapi di seluruh dunia Islam, beliau merupakan sosok terdepan yang mengusung konsep tahrif al-nash. Bahkan sejumlah cendekiawan barat yang tidak setuju dengan pandangan Ibn Hazm sekalipun mengakui kepiawaian Ibnu Hazm dalam berargumentasi menggunakan konsep tahrif-nya. David Powers sampai menduga, Ibnu Hazm memiliki sejumlah terjemahan berbahasa Arab dari Perjanjian Lama yang berbeda sehingga ia tidak bergantung pada satu versi terjemahan saja. Senada dengan David Powers, Sweetman bahkan lebih eksplisit dalam mengungkapkan kekagumannya kepada penguasaan Ibn Hazm terhadap Perjanjian Lama dan Baru, sebagaimana terungkap dalam kutipan dia dalam buku Islam and Christian Theology: “Beliau (Ibn Hazm) tampaknya telah melengkapi dirinya dengan baik dalam pekerjaan yang dilakukannya. Beliau memiliki pengetahuan tentang berbagai terjemahan dari Perjanjian Lama dan Baru. Beliau mengetahui perbedaan antara Septuaginta dan bahasa Ibrani. Beliau juga memiliki akses untuk kontak langsung dengan para cendekiawan Yahudi, di mana beliau memperoleh beberapa pengetahuan tentang Talmud dan tradisi rabbinik.” Bahkan Montgomery Watt, salah seorang orientalis dan kritikus Islam terdepan, sampai mengatakan, “Tampak jelas bahwa Ibn Hazm memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang banyak hal terkait agama Kristen dibandingkan dengan para pendahulunya.” [4] Ibnu Hazm memandang bahwa perubahan pada teks terjadi pada seluruh bagian Taurat dan Injil, dengan kata lain, teks kedua kitab suci itu sudah mengalami distorsi secara masif. Setidaknya ada tiga alasan yang membawa Ibnu Hazm sampai pada kesimpulan di atas. Pertama, banyak sekali ditemukan ketidakakuratan di dalam Taurat dan Injil dari aspek narasi sejarah dan aspek geografis. Kedua, “periwayatan” kitab-kitab itu tidak didukung oleh rantai testimoni dalam proses transmisi sebagaimana isnad di dalam ilmu hadis. Ketiga, adanya pemalsuan teks, hal ini berdasarkan profil Nabi di dalam Taurat yang jika ditinjau menggunakan tashawwur Islami, tidaklah mungkin profil sejenis itu dimiliki atau terjadi pada sosok Nabi. Di antara contohnya adalah narasi persetubuhan dua putri Luth dengan ayahnya sendiri hingga kedu putri Luth hamil (Kej 19: 30-38). Berangkat dari pandangan pertama ini, kesakralan kedua Kitab Suci itu tentu hilang. Oleh karena itu ada satu pendapat yang sampai membolehkan seseorang untuk bersuci dari hadas dengan menggunakan lembaran-lembaran apa yang diklaim sebagai “Taurat” atau “Injil”. Hanya saja hal tidak boleh dilakukan ketika yang bersangkutan menemukan pada lembaran-lembaran itu adanya kebenaran. Al Khatib al-Syarbini merincinya: Dibolehkan beristinja dengan sesuatu yang tidak dimuliakan. Alqadi membolehkannya dengan lembaran Injil dan Taurat. Namun hal ini disimpulkan apabila lembaran tersebut berisi ayat-ayat yang sudah diubah, dan tidak terdapat padanya nama Allah Ta’ala dan semisal itu (Mughni al-Muhtaj, 1/54).[5] Tentu ini merupakan sikap yang tidak diperlukan. Keberadaan batu atau benda-benda lain yang boleh digunakan untuk bersuci (khususnya istijmar) lebih mudah dijumpai ketimbang lembaran-lembaran yang disucikan oleh Ahli Kitab. Terlepas dari pandangan di atas, menurut Ibnu Taimiyah, pendapat yang mengatakan bahwa tahrif tekstual (tahrif al-nash) terjadi pada Taurat dan Injil seluruhnya merupakan posisi yang “tidak dikenal” di tengah Kaum Muslimin, sebab, sudah menjadi kesepakatan Kaum Muslimin bahwa tahrif pada Taurat dan Injil itu terjadi pada sebagian teksnya saja, tidak seluruhnya. Karena itu di dalam kitab-kitab itu masih terdapat kebenaran yang tersisa, termasuk Nama Allah ﷻ dan nama Para Utusannya. Karena itulah Ibnu al-Hajar al-Haitami menyatakan, pendapat terbaik adalah agar tidak menjadikan lembaran-lembaran Injil dan Taurat untuk beristinja atau beristijmar. Beliau berkata: الْحَقُّ أَنَّ فِيهِمَا مَا يُظَنُّ عَدَمُ تَبْدِيلِهِ لِمُوَافَقَتِهِ مَا عَلِمْنَاهُ مِنْ شَرْعِنَا [Pendapat] yang benar adalah bahwasanya di keduanya [Taurat dan Injil] diduga di dalamnya masih terdapat sesuatu yang tidak diubah karena sesuai yang kita ketahui dalam syariat kita. [6] Pandangan kedua: Tahrif al-Ma’na (perubahan pada penakwilan/penafsiran). Pandangan ini menyatakan perubahan yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu bukan secara tekstual tetapi pada pemaknaan. Ini adalah pendapat dari Imam Bukhari (Fath al-Bari, 15/503) dan juga Fakhruddin al-Razi (Tafsir al-Kabir, 2/123), serta mayoritas ulama sebelum masa Ibnu Hazm. Di antara ulama lain yang berada pada posisi ini di antaranya At-Tabari, Ibnu Katsir, Ibnu al-Hajar al-Asqalani, Al Ghazali, dan satu pendapat Ibnu Taimiyah. Tahrif makna ini merupakan sesuatu yang dinilai gamblang dan jelas, sebagaimana perkataan Ibnu Hajar, “Tahrif makna yang dilakukan oleh Ahli Kitab adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari, dan hal ini sesuatu yang banyak ditemukan pada kitab-kitab mereka,” (Fath al-Bari, 15/505). Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menjelaskan bahwa distorsi dalam penafsiran atau penakwilan merupakan mayoritas tahrif yang didapati pada kitab-kitab terdahulu. Beliau berkata: وَهَذَا مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ أَنَّهُمْ يَتَصَرَّفُونَ فِي مَعَانِيهَا وَيَحْمِلُونَهَا عَلَى غَيْرِ الْمُرَادِ “Dan ini adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan di antara para ulama, yaitu bahwa mereka melakukan tahrif terhadap maknanya dan membawanya kepada sesuatu yang berbeda dari yang dimaksudkan.”[7] Pandangan ini menyatakan bahwa tahrif pada kitab-kitab terdahulu adalah dari sisi penafsiran, bukan teks. Konsekuensinya, pandangan ini secara umum menganggap teks-teks Taurat dan Injil tidak banyak berubah, atau minimal secara umum “benar”. Tetapi pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah perlu dirinci lebih jauh sehingga tidak dapat diterima begitu saja tanpa menyertakan sejumlah rincian itu. Rincian itu menyasar pada sebagian teks Taurat dan Injil yang memang sudah mengalami distorsi di aspek teks (tahrif al-nash), hanya saja porsinya tidak seluruhnya, bahkan sebagian kecil saja. Hal ini tampak melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi ﷺ sendiri, dan telusuran terhadap kitab-kitab terdahulu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pembanding dan penimbang. Ibnu Taimiyah memandang, perubahan teks (disebut juga dengan tahrif al-lafz) itu satu hal yang gamblang ditemukan di dalam kitab-kitab itu. Sebab, lanjut beliau, ditemukan di dalamnya perkataan-perkataan yang mustahil berasal dari Allah ﷻ. Terlebih lagi, terdapat sejumlah kontradiksi di dalam teks-teks Ahli Kitab. Maka, jika itu adalah wahyu dari Allah ﷻ, sudah pasti tidak akan terjadi pertentangan-pertentangan lafaznya. Jadi masifnya perubahan makna (tahrif al-ma’na) pada kitab-kitab itu bukan berarti tidak ada perubahan dalam lafaz (tahrif al-nash) sama sekali. Dalam hal ini, Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang telah banyak menyebutkan sejumlah pertentangan-pertentangan teks di dalam Kitab-Kitab itu sehingga menjadi bukti gamblang akan adanya tahrif di aspek teks, demikian Ibnu Taimiyah.[8] Terlepas dari itu, Ibnu Taimiyah memandang, secara umum pendapat inilah yang disepakati oleh Kaum Muslimin, bahkan terdapat ijma’ terkait hal ini, bahwa mayoritas distorsi dalam penafsiran atau pemaknaan itulah yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu. Tidak hanya itu, masih dari Ibnu Taimiyah, adanya distorsi dalam penafsiran ini pula yang menjadi konsensus di tengah Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Pandangan ketiga adalah turunan dan rincian dari jenis tahrif al-ma’na di poin ke dua di atas. Pandangan ini menyatakan, tahrif memang realita. Hanya saja, perubahan itu terjadi di sebagian kecil dari kitab-kitab itu. Konsekuensinya, sebagian besarnya masih berada pada kondisi sebagaimana diturunkannya. Ibnu Taimiyah sendiri cenderung mengambil pendapat ketiga ini (Al-Jawab al-Sahih, 2/420). Apabila melihat telusuran intertekstual Ibnu Qutaibah dalam kitabnya A’lamu Rasulillah al-Manzilatu ‘ala Rusulihi, dan dalam karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berjudul Hidayah al-Hayara fi Ajwibat al-Yahudi wa al-Nashara, kedua ulama tersebut condong pada posisi yang sama dengan Ibnu Taimiyah ini. Kesimpulannya, tahrif pada Taurat dan Injil terjadi pada dua aspek; dari sisi teks dan sisi makna. Dari dua aspek itu memiliki turunan lain seperti mengalihkan kepada sesuatu yang berbeda dengan maksudnya (al-taghyir), mengganti dengan sesuatu yang lain (al-tabdil), atau menyembunyikan atau menutupi (kitman al-haq). Dapat disimpulkan bahwa perubahan teks pada Taurat dan Injil merupakan sesuatu yang diperselisihkan di tengah para ulama. Adapun tahrif dalam pemaknaan, maka hal ini merupakan konsensus di tengah Kaum Muslimin, dan Kaum Muslimin bersepakat tanpa adanya khilaf (perselisihan), bahkan sesuatu yang diafirmasi di tengah cendekiawan Ahli Kitab sendiri. Hal ini sesuai dengan perkataan Ibnu Taimiyah: ولكن علماء المسلمين وعلماء أهل الكتاب متفقون على وقوع التحريف في المعاني والتفسير “Tetapi para ulama dari kalangan Muslim dan para ulama dari Ahli Kitab bersepakat bahwa distorsi (tahrif) terjadi dalam sisi makna dan penafsiran.” (Al-Jawab al-Sahih, 2/419)[9] Tahrif makna pada Taurat dan Injil itu muncul dari dua sebab; ketidaksengajaan dan kesengajaan. Untuk itulah Ibnu Taimiyah berkata: وأهل الكتاب اليهود والنصارى مع المسلمين متفقون على أن الكتب المتقدمة وقع التحريف بها؛ إما عمداً وإما خطأ: في ترجمتها، وفي تفسيرها، وشرحها، وتأويلها؛ وإنما تنازع الناس هل وقع التحريف في بعض ألفاظها Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, begitu pula dengan Kaum Muslimin, sepakat bahwa distorsi telah terjadi pada kitab-kitab yang ada sebelum Al-Qur’an, baik itu terjadi dengan sengaja maupun karena kesalahan, yakni dalam penerjemahan kitab-kitab itu, juga dalam penafsirannya, demikian pula dalam penjelasannya, serta takwil dari kandungan kitab-kitab tersebut. Terdapat perselisihan pendapat terkait apakah distorsi ini terjadi pada sebagian dari lafaznya [atau seluruhnya-pent] (Al-Jawab al-Sahih, 5/123). Tahrif dalam makna juga tampak dalam inkonsistensi terjemahan Taurat. Memang demikian apabila kita melihat kepada sejarah Ahli Kitab. Pada abad 3 SM, terjadi penerjemahan Taurat dari Bahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani yang bertempat di Aleksandria, dan terjemahan Yunani itulah yang kini banyak digunakan sebagai acuan dalam penerjemahan ke bahasa-bahasa lain di dunia. Ternyata, Kaum Yahudi sepakat bahwa terjemahan Yunani itu, yang dikenal dengan Septuaginta, memiliki “cacat” berupa tambahan dan perubahan. Karena itulah, masih dari Ibnu Taimiyah, seseorang dapat menemukan di dalam Taurat berbagai salinan terjemahan yang di antaranya terdapat perbedaan, dan perbedaan terjemahan itu menyebabkan perbedaan makna. Adapun tahrif dari sisi teks, hal ini diperselisihkan di tengah para ulama karena sebagian ulama ada yang menganggap distorsi teks-teks pada kitab-kitab di sisi Yahudi dan Nasrani itu tidak terjadi, atau minimal hanya terjadi pada sebagian kecilnya saja. Apa yang terjadi hanyalah tahrif dari pemaknaan. Distorsi dalam pemaknaan, penafsiran, penakwilan inilah model tahrif yang banyak ulama terdahulu nilai sebagai poros dari makna yuharrifunahu (mereka mengubahnya QS. 2: 75). Seorang peneliti Yahudi yang menganalisa tentang komunitas Yahudi Madinah di zaman Nabi ﷺ bernama Dr. Haggai Mazuz menulis bahwa berdasarkan “kritik” Al-Qur`an terhadap komunitas Yahudi yang kerap mengubah-ubah kitab mereka, hal itu menjadi indikasi kuat mengenai karakter para cendekiawan rabinik yang memang suka mengubah-ubah teks-teks suci mereka sendiri. Haggai mengutip ayat Al-Qur`an untuk mendukung argumentasinya. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan: Apakah kalian masih mengharapkan mereka akan percaya kepada kalian, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 75). Haggai Mazuz menyatakan setidaknya ada 17 contoh bagaimana para kalangan ahli ilmu Yahudi mengubah-ubah huruf-huruf dalam penafsiran mereka terhadap Taurat. Haggai juga memandang, kritik Al-Qur`an tentang tahrif “tidak sepenuhnya keliru.” Ia juga mengatakan posisi Islam dalam mengkritik tahrif para cendekiawan Yahudi di sekte rabinik persis seperti posisi sekte Yahudi karaim kepada rabbinic.[10] Sekte karaim adalah kelompok Yahudi yang menolak Talmud. Bagi mereka, tafsiran manusia di dalam Talmud justru memalingkan maksud awal dari kandungan Taurat. Haggai Mazuz bukanlah satu-satunya. Seorang orientalis bernama Gordon Darnell Newby dalam bukunya A History of The Jews of Arabia mengisyaratkan bahwa kritik Al-Qur’an terhadap tahrif dalam Taurat dapat diafirmasi oleh tradisi Yudaisme sendiri. Gordon mengatakan bahwa ungkapan “orang-orang Yahudi” di dalam Al-Qur`an pada surah Al-Ma’idah ayat 64, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu,’ (waqaalatil yahuudu Yadullaahi maghluulatun) memang terdapat di dalam Midrash on Lamentation Rabbah, bab 2, ayat 3. Disebutkan di dalamnya bahwa tangan tuhan terbelenggu di belakang karena tidak mencegah penghancuran Haikal Sulaiman. Maksudnya, Tuhan bagi mereka tidak mau atau mampu berbuat apa-apa. Sedangkan di tempat lainnya ungkapan itu ditemukan di 3 Enoch 48a, “Rabbi Ishmael berkata padaku, ‘Mari dan aku akan tunjukkan tangan kanan yang maha ada, yang telah dibuang di belakangnya karena menghancurkan Haikal Sulaiman.”[11] Namun demikian, Gordon memandang adanya paralel antara Surah Al-Ma’idah ayat 64 di atas dengan Lamentation Rabbah serta dalam 3 Enoch diletakkan dalam bingkai “Muhammad mengambil materi dari teks-teks tradisi Yahudi”. Pandangan Gordon jelas sesuatu yang tidak kompatibel dengan konsep Wihdah al-Din. Salah satu karakter Al-Qur’an dalam konteks intertekstual memang menjalin “komunikasi” dengan teks-teks keagamaan Ahli Kitab, baik teks kanon, deuterokanonika, atau apokrif, baik dalam tradisi Yudaisme maupun Nasrani. Namun hal itu tidak serta “Muhammad menjiplak”. Selain para pengkritik Al-Qur’an belum pernah ada yang datang dengan bukti yang konkrit selain hanya conjenture (al-dzann) saja, justru di situlah hemat Penulis salah satu bukti Al-Qur’an datang dari Allah ﷻ. Sebab, Rasulullah ﷺ lahir, tumbuh, dan berdakwah di tengah masyarakat ummiy (tidak membaca dan menulis). Akses kepada teks-teks kanon Ahli Kitab tidaklah memungkinkan, terlebih lagi akses kepada literatur Talmud yang notabeme kompilasi komentar para rabbi di Babilonia dan Syam. Wallahu A’lam [1] Oleh kumpulan penulis, disupervisi oleh Syaikh ‘Alawi Abdul Qadr As-Saqqaf. Al-Mausu’ah al-Aqidah, 3/404. Al-Durar Al-Suniya (Dorar.net). 1433 H/2011 M. المكتبة الشاملة. https://shamela.ws/book/38058/1407. [2] Dr Khalid al-Mosleh. Syarah al-’Aqidah al-Wasithiyah li-Khalid al-Mosleh. Berdasarkan transkrip audio ceramah beliau. Bab أنواع التحريف. https://shamela.ws/book/7728. .المكتبة الشاملة. [3] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa an-Nihayah. Dar Hijr li al-Thabi’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’ wa I’lan. Al Jizah (Giza).1448 H / 1997 M. Hal, 3/78 [4]Abdul Rashied Omar. Ibn Hazm: On the Doctrine of Tahrif (disertasi). Department of Religious Studies, University of Cape Town (UCT), Cape Town, 1992. Hal, 20-26. https://open.uct.ac.za/server/api/core/bitstreams/0cd80963-75fe-4501-990d-c950928458f2/content [5] Al-Khatib al-Syarbini. Al-Iqna’ fi Hal al-Fazh Abi Syuja‘. Dar al-Fikr, Beirut. Hal, 1/54 dan 1/162-163. [6] Ibnu al-Hajar al-Haitami. Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasyi wa al-Syarwani wa al-’Abdi. Maktabah al-Tijariyah al-Kubra. Mesir. 1357 H /1983 M. Hal. 1/178. [7] Op. Cit., Al-Bidayah wa an-Nihayah. 3/79 [8] Ibid. Al-Mausu’ah al-Aqidah, 3/404. [9] Ibnu Taimiyah. Al-Jawab al-Sahih. 1419 H/1999 M. Dar al-’Asimah. KSA. Hal, 2/419. [10] Haggai Mazuz. The Religious and Spiritual Life of the Jews of Medina. Leiden: Brill Academic Pub, 2014, hlm. 20-21. [11] Gordon Darnell Newby. A History of the Jews of Arabia: From Ancient Times to Their Eclipse under Islam. University of South Carolina Press, 1988, hlm. 59. Artikel ahli kitabAkidahalquraninjilkristologitahriftaurat