Skip to content
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET

PASAL XXXIV – BAGAIMANA MEMAHAMI DALI SYARIAH (2)

Supriyadi Yusuf Boni, 15 September 2025

Sumber: Kitab Maraqy al-Wa’yi (Penanaman & Peningkatan Kesadaran)

Penulis:  Prof. Dr. Shaleh bin Abdul Aziz Utsman Sindi

Penerjemah: Supriyadi Yousef Boni

Editor: Idrus Abidin

            Bahasan sebelumnya mengenai prinsip-prinsip dasar dalam memahami al-Qur’an dan sunnah. Paparan di lembaran ini adalah lanjutan dari sebelumnya. Prinsip-prinsip dasar sebagai panduan memahami al-Qur’an dan sunnah banyak jumlahnya, namun sulit dituangkan semuanya di lembaran ini. karena itu, saya hanya membatasi paparan ini untuk empat prinsip dasar yang dianggap paling penting difahami.

            Prinsip Pertama: Dalil syariat mustahil difahami tanpa melibatkan kaedah-kaedah ushul fiqih.

            Ushul fiqih merupakan panduan dasar memahami dalil dari al-Qur’an dan sunnah, juga kaedah-kaedah yang memandu proses penarikan hukum dari dalil serta untuk mengetahui makna yang kuat dan yang lemah. Ushul fiqih adalah disiplin ilmu syariat yang memandu pedoman ilmiyah untuk menjaga syariat agar tidak dicampuri oleh segala yang bukan bagian dari syariat.

            Banyak referensi mengulas ilmu ushul fiqih dengan cakupan bahasannya sudah masyhur yang berpusat pada empat bahasan inti, yakni; dalil syariat, hukum taklifi dan wadh’i, muatan dan kandung lafadz dalil syariat, dan ulasan tentang ijtihad, taklid dan seputar fatwa. Maksudnya, mustahil seseorang dapat memahami syariat tanpa ditunjang oleh pengetahuan ushul fiqih yang memadai, juga pengetahuan tentang kaedah-kaedah penarikan hukum, sebagaimana telah menjadi ketetapan para sahabat, para tabi’in dan generasi setelah mereka, hingga hadirnya Imam al-Syafi’i yang merumuskannya dan memasukkannya dalam kitabnya ‘al-Risalah” kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah itu melalui karya kitab-kitab mereka.

            Diantaranya; kaedah bahwa hukum asal kata perintah bermuatan wajib, larangan bermuata pengharaman, konsentrasi hukum pada keumuman lafadz bukan kekhususan sebab, dalil umum diikutkan ke dalil khusus, dalil mutlak diikutkan ke dalil muqayyad, kebenaran syariat dikedepankan ketimbang kebenaran kultur kebiasaan… dan sebagainya.

            Prinsip Kedua; Pemahaman salaf al-shaleh dijadikan parameter tafsir yang benar terhadap dalil syariat.

            Mengikuti titah salaf al-shaleh merupakan prinsip sangat mendasar bagi kaum muslimin. Kita diskusikan apa yang mereka diskusikan dan diamkan apa yang mereka diamkan serta memahami nash seperti yang mereka fahami.

            Salafu al-shaleh adalah mereka yang dilabeli generasi terbaik melalui hadits: Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, lalu generasi setelahnya.” (HR. al-Bukhari, no. 2652 dan Muslim, no. 2533).

            Mereka yang dimaksud adalah para sahabat, tabi’un dan tabi’ tabiun yang menjadi generasi awal ummat ini. firman Allah Swt:

وَالسّٰبِقُوۡنَ الۡاَوَّلُوۡنَ مِنَ الۡمُهٰجِرِيۡنَ وَالۡاَنۡصَارِ وَالَّذِيۡنَ اتَّبَعُوۡهُمۡ بِاِحۡسَانٍ ۙ رَّضِىَ اللّٰهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوۡا عَنۡهُ

            Terjemahannya: “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah.” (Qs; al-Taubah: 100).

            Rasulullah Saw bersabda; “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah al-khulafa’ al-rasyidin al-mahdiyyin, komitmenlah padanya dan peganglah kuat-kuat.” (HR. Ahmad, no. 17145 dan Abu Dawud, no. 4607).

            Allah Swt peringatkan jangan sampai berbeda jalan dengan ahli iman. Firman Allah Swt:

وَمَنۡ يُّشَاقِقِ الرَّسُوۡلَ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَـهُ الۡهُدٰى وَ يَـتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيۡلِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى

            Terjemahannya: “Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu” (Qs; al-Nisa’: 115).

            Allah Swt juga perintahkan untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Firman Allah Swt:

وَّاتَّبِعۡ سَبِيۡلَ مَنۡ اَنَابَ اِلَىَّ ​

            Terjemahannya: “dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Qs; Luqman: 15). Dan generasi sahabat merupakan orang-orang yang paling layak disifati sebagai orang-orang beriman. Allah Swt juga perintahkan agar kita bersama dengan orang- orang yang benar. Firman Allah Swt:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوۡنُوۡا مَعَ الصّٰدِقِيۡنَ‏ 

            Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (Qs; al-Taubah: 119). Al-Dahhak berkata; yang dimaksud ayat ini adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar dan para sahabatnya.

            Berdasarkan dalil di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman para salaf merupakan parameter untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Penafsiran yang sesuai dengan pemahaman salaf dijamin benar dan yang menyelisihnya dipastikan salah. Mereka generasi paling faham terhadap kitabullah dan sunnah, paling tahu tahu tentang bahasa Arab, generasi paling takwa kepada Allah Swt. Mustahil mereka tidak tahu kebenaran lantas hanya diketahui selain mereka. Sungguh indah pernyataan Ibnu Katsir ketika menafsirkan:

وَقَالَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا لِلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَوۡ كَانَ خَيۡرًا مَّا سَبَقُوۡنَاۤ اِلَيۡهِ​ ؕ

            Terjemahannya: “Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Alquran itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” (Qs; al-Ahqaf: 11).

            Beliau berkata: madzhab ahlussunnah menyatakan semua perkataan dan perbuatan yang tidak diriwayatkan dari para sahabat adalah bid’ah. Sebab, andai itu betul kebaikan maka pasti mereka lebih dahulu melakukannya, karena mereka tidak pernah meninggalkan satu jenis kebaikan pun. (7/278).

            Dengan demikian, setiap orang dilarang menyisipkan makna dalil yang tidak pernah disebutkan kaum salaf. Olehnya itu, kala ada orang yang kunjungi kuburan nabi lalu minta syafaat, dengan dasar:

وَلَوۡ اَنَّهُمۡ اِذْ ظَّلَمُوۡۤا اَنۡفُسَهُمۡ جَآءُوۡكَ فَاسۡتَغۡفَرُوا اللّٰهَ وَاسۡتَغۡفَرَ لَـهُمُ الرَّسُوۡلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيۡمًا‏

Terjemahannya: “Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya1 datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat,” (Qs: al-Nisa’: 64).

            Maka sesungguhnya dia menyikapi dalil itu dengan cara yang salah. Karena, para sahabat, tabi’in dan generasi seterusnya tidak memahami ayat ini mencakup printah mengunjungi kuburannya sepeninggal beliau Saw, namun yang dimaksud adalah saat Rasulullah Saw masih hidup.

            Prinsip Ketiga: Dalil Mesti Difahami Menggunakan Bahasa Arab

            Maksudnya memahami syariat ditentukan oleh makna bahasa melalui lafadz dan redaksinya. Sebab Allah Swt turunkan al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Firman Allah Swt:

اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰهُ قُرۡءٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ‏

            Terjemahannya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Quran berbahasa Arab, agar kamu mengerti.” (Qs: Yusuf: 2) dan firman Allah Swt:

كِتٰبٌ فُصِّلَتۡ اٰيٰتُهٗ قُرۡاٰنًا عَرَبِيًّا لِّقَوۡمٍ يَّعۡلَمُوۡنَۙ‏

            Terjemahannya: “Kitab yang ayat-ayatnya djelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,” (Qs: Fussuilat: 3).

            Jadi, wahyu hanya bisa difahami melalui bahasa Arab. Mujahid, seorang tabi’in mengatakan: tidak dibenarkan seseorang yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir berani menafsirkan al-Qur’an tanpa mengetahui bahasa Arab.” Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang menafsirkan firman Allah Swt:

فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ​ ​

            Terjemahannya: “maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (Qs; al-Nisa’: 3), bahwa dibolehkan sesorang pria mempoligami 9 orang wanita. Sebab, redaksi ayat di atas menurut pendekatan bahasa Arab tidak menunjukkan angka kumulatif.

            Oleh karena itu, siapapun yang hendak memahami al-Qur’an dan sunnah mesti menyadari bahwa cara utamanya adalah melalui bahasa Arab. Artinya melalui garamatikalnya, pemilihan diksi dan susunan kalimat ditambah memahami kandungan lafadz. Syarat ini menutup pintu bagi kaum modernis yang ingin menjadikan wahyu, baik al-Qur’an atau sunnah terbuka untuk dimaknai semau mereka, tanpa memastikan satu makna tertentu, seolah semua dalil memungkinkan disematkan makna kebaharuan. Salah seorang dari mereka berkata; “sunggun cara baca al-Qur’an seperti ini yang saya impikan, yakni bacaan bebas hingga seperti seorang tunawisma dan gelandangan di semua sisi.

            Hendaklah dia menghentikan “kebebasannya” itu yang malah menjauhkannnya dari al-Qur’an. Sebab pernyataannya menunjukkan kalau mereka sesungguhnya hanya bermain-masin, sama sekali tidak menginginkan kebenaran. Apakah Allah Swt akan rela menerapkan cara ini untuk memahami firman-Nya? Apakah Allah Swt akan rela firman-Nya dipermainkan dan dimaknai bebas hatta bertolak belakang dengan makna lafadznya?

            Prinsip Keempat: Memahami al-Qur’an harus Terintegrasi antara satu ayat dengan lainnya.

            Maksudnya, dilarang lebih focus pada satu ayat dan mengabaikan ayat lainnya yang senada, namun yang mesti dilakukan adalah mengintegrasikan semua nash-nash yang selaras, sebab mustahil akan kontradiksi berkat sumbernya satu. Firman Allah Swt;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً 

            Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan,” (Qs; al-Baqarah: 208). Artinya, masuklah ke dalam Islam secara sempurna, bukan hanya sebagian saja.

            Atas dasar itu, jika seseorang mempertanyakan hadits dalam kitab shahih al-Bukhari, no. 7435 bahwa Nabi Saw: “kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata kepala.” Artinya di akhirat nanti, akan tetapi ada ayat yang menyangga hadits ini, takni firman Allah Swt:

لَا تُدۡرِكُهُ الۡاَبۡصَارُ

            Terjemahannya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (Qs: al-An’am: 103). Sementara apabila al-Qur’an dan sunnah kontradiksi maka dalil al-Qur’an yang dikedepankan.

            Jawabnya; kedua dalil yang dimaksud tersebut tidak kontradiksi sama sekali. Penetapan melihat untuk objek tertentu sedang penafiannya juga untuk objek tertentu pula. Yang ditetapkan adalah tindakan melihat, dan yang dianfikan adalah jangkauan. Lalu cara mensinergikan dua dalil ini adalah bahwa Allah Swt dapat dilihat namun tidak dijangkau secara keseluruhan. Karena makna al-idrak adalah menjangkau keseluruhan. Persis seperti lautan yang dapat dipandang namun tidak bisa dijangkau keseluruhannya akibat luasnya yang tak terkira. Sedang Allah Swt jauh lebih besar dan lebih agung.

            Beberapa contoh kekeliruan memahami dalil akibat mengabaikan prinsip ini.

            Contoh pertama;

Diantara kekeliruan besar di hari ini menisbatkan kebebasan yang salah terhadap Islam di mana mereka yakini bolehnya berpindah-pindah agama sekehendak manusia, boleh memeluk agama yang disukai dan meninggalkan yang tidak dia sukai, tanpa merasa terbebani, mereka mengaburkannya menggunakan dalil-dalil syariat. Ada tiga ayat yang sering mereka sebutkan yakni; firman Allah Swt;

فَمَنۡ شَآءَ فَلۡيُؤۡمِنۡ وَّمَنۡ شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡ ​

            Terjemahannya: “barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (Qs: al-Kahfi: 29). Kedua, firman Allah Swt:

لَاۤ اِكۡرَاهَ فِى الدِّيۡنِ​ 

            Terjemahannya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),” (Qs: al-Baqarah: 256) dan yang ketiga, firman Allah Swt:

لَـكُمۡ دِيۡنُكُمۡ وَلِىَ دِيۡنِ‏

            Terjemahannya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”” (Qs: al-Kafirun: 6).

            Jika dicermati, sebab utamanya karena jiwa mereka terjajah (inlander) yang mendorong mereka menjadikan Islam dibawah kendali pemikiran barat, juga agar kaum muslimin hilang identitas dan lemah eksistensi, bahkan keunggulan dan karakternya memudar. Mereka inginkan Islam menjadi cerminan orang lain.

            Sungguh mereka melakukan kesalahan berat. Sebab, Islam adalah agama kebenaran yang diturunkan dari Allah Swt, melampaui semua agama lain, memiliki objektif, hikmah dan hukumnya tersendiri. Tidak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan agama lain atau tuntutan sosial. Siapa yang mengimani seluruh ketetapan hukumnya maka pasti dia bahagia di dunia dan di akhirat, dan siapa yang kufur maka mudharat menimpa dirinya sendiri, Islam tak akan terdampak sama sekali. Firman Allah Swt:

وَلَا يَحۡزُنۡكَ الَّذِيۡنَ يُسَارِعُوۡنَ فِى الۡكُفۡرِ​ۚ اِنَّهُمۡ لَنۡ يَّضُرُّوا اللّٰهَ شَيۡـــًٔا ​ يُرِيۡدُ اللّٰهُ اَلَّا يَجۡعَلَ لَهُمۡ حَظًّا فِىۡ الۡاٰخِرَةِ ​ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ‏

            Terjemahannya: “Dan janganlah engkau (Muhammad) dirisaukan oleh orang-orang yang dengan mudah kembali menjadi kafir;1 sesungguhnya sedikit pun mereka tidak merugikan Allah. Allah tidak akan memberi bagian (pahala) kepada mereka di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (Qs: Ali Imran: 176).

            Bagaimana bentuknya, sesungguhnya dalil syariat dan ijma’ kaum muslimin sudah menetapkan bahwa Islam adalah agama kebenaran yang dibawa oleh Muhammad Saw dan agama satu-satunya diterima oleh Allah Swt. Firman Allah Swt:

وَمَنۡ يَّبۡتَغِ غَيۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِيۡنًا فَلَنۡ يُّقۡبَلَ مِنۡهُ​  وَهُوَ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ‏

            Terjemahannya: “Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Qs: Ali Imran: 85).

            Setiap orang tidak diberi pilihan untuk masuk, berpaling atau keluar dari Islam, namun dia wajib memeluknya dan akan dikekalkan di neraka bila tidak memeluknya. Firman Allah Swt:

وَمَنۡ لَّمۡ يُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ فَاِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا لِلۡكٰفِرِيۡنَ سَعِيۡرًا‏

            Terjemahannya: “Dan barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu neraka yang menyala-nyala.” (Qs: al-Fathu: 13).

            Dalil yang mereka sebutkan seperti firman Allah Swt:

فَمَنۡ شَآءَ فَلۡيُؤۡمِنۡ وَّمَنۡ شَآءَ فَلۡيَكۡفُر

            Terjemahannya: “barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir” (Qs: al-Kahfi: 29), maka jawabannya adalah bahwa ayat ini bukan memberikan pilihan antara berimana atau kufur, namun ayat ini memuat ancaman berat seperti dikenal dalam tata bahasa Arab. Dalil yang menunjukkan bahwa ayat itu memuat ancaman adalah firman Allah Swt;

اِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا لِلظّٰلِمِيۡنَ نَارًا ۙ اَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَا

            Terjemahannya: “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka” (Qs; al-Kahfi: 29).

            Jadi, ayat tersebut sejatinya adalah ancaman bagi mereka yang memilih kufur setelah diutusnya Nabi Muhammad Saw, sebagaimana memuat kemahakayaan Allah Swt. Artinya agama ini adalah kebenaran dari Allah Swt, jika kalian imani maka iman kalian tidak berdampak bagi Allah Swt dan jika kalian kufur maka kekufuran kalian juga tidak buruk bagi Allah Swt. Jadi ayat tersebut tidak mendukung pemikiran mereka. Firman Allah Swt;

لَاۤ اِكۡرَاهَ فِى الدِّيۡنِ

            Terjemahannya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),” (Qs: al-Baqarah: 256), termasuk ayat paling banyak diselewengkan maknanya.

            Kata “la” dalam ayat ini memiliki dua kemungkinan bermakna nafyun (menafikan) atau nahyun (pelarangan). Apabila dimaknai nafyun maka maknanya bahwa Allah Swt menafikan kekuasaan dan kendali kalian memaksakan orang laik memeluk Islam, karena agama yang benar itu mesti dianut dengan hati yang tulus, sedang mustahil orang lain dapat memaksa kehendak hati orang lain.

            Apabila kata “la” dalam ayat ini dimaknai nahyun (pelarangan) maka ayat ini bermakna bahwa seseorang dilarang memaksa orang lain untuk memeluk Islam – dengan catatan mereka dipinta bayar jizyah – namun jizyah tidak memberi manfaat bagi mereka di sisi Allah Swt, karena jika dia meninggal sebelum masuk Islam maka dipastikan masuk neraka dan dilaknat Allah Swt.

            Jadi, paksaan dalam ayat ini hanya terkait dengan masuk Islam dan tidak terkait dengan keluar dari Islam. Sebab, keluar Islam adalah persoalan lain. Di mana tiada seorang pun ulama yang memaknai ayat tersebut dengan membebaskan orang lain keluar dari Islam, kapapun dia inginkan. Sebaliknya, nash dalil syariat dan ijma’ ulama menyebutkan orang murtad diminta bertaubat dan jika tidak dia penuhi maka dia dipidana mati.

Firman Allah Swt:

لَـكُمۡ دِيۡنُكُمۡ وَلِىَ دِيۡنِ‏

            Terjemahannya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”” (Qs: al-Kafirun: 6)

            Ayat ini menyebutkan sikap berlepas diri dari orang kafir dan bukan pengakuan akan pilihan kufur mereka. Artinya, bahwa kalian memeluk agama yang sesat dan kufur, saya berlepas diri darinya dan saya tidak mau mengikutinya. Sebab, saya memeluk agamaku yang benar dan diturunkan Allah Swt. Jadi kalimatnya adalah ungkapan berlepas diri dan bukan pengakuan terhadap agama kufur. Ayat ini selaras dengan firman Allah Swt dalam surah Yunus:

وَاِنۡ كَذَّبُوۡكَ فَقُلْ لِّىۡ عَمَلِىۡ وَلَـكُمۡ عَمَلُكُمۡ​ اَنۡـتُمۡ بَرِيۡٓــُٔوۡنَ مِمَّاۤ اَعۡمَلُ وَاَنَا بَرِىۡٓءٌ مِّمَّا تَعۡمَلُوۡنَ‏

            Terjemahannya: “Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.”” (Qs: Yunus: 41).

            Subhanallahu, bagaimana bisa mereka buta hati memahami ayat yang muhkamat (jelas, tegas dan lugas) lalu mengaburkannya, bahkan memaknai jauh dari yang sesungguhnya. Nabi Saw bersabda: “Jika kalian melihat orang yang suka memaknai ayat musytabihat maka merekalah yang dikecam Allah Swt dalam firman-Nya.” (al-Bukahri, no. 4547 dan muslim, no. 2665).

            Contoh kedua:

            Hadits “(wanita) adalah kurang akal dan agama.” Termasuk yang paling disimpangkan dan diselewengkan maknanya hari ini, padahal sejatinya sudah sangat jelas dan sama sekali tidak bermasalah.

            Musuh-musuh Islam dan orang jahil berkata; hadits ini menghina kaum wanita dan merendahkan marwah mereka, lalu dijadikan alat menyerang Islam terutama oleh orang atheis. Kelompok yang lain menolak validitas hadits ini atau memaknainya salah. Bisa karena ketidaktahuan atau karena jiwa mereka terjajah. Betapapun itu, hadits ini diriwayatkan dalam kitab shahihain (al-Bukhari, no. 304 dari hadits Abu Said, dan Muslim dari hadits Ibnu Umar, no. 79) dan disepakati validitasnya.

            Ditegaskan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri r.a., ia berkata: Rasulullah Saw pernah menuju shalat iedul adha atau iedul fitri. Kala melintasi kaum wanita beliau bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian karena saya lihat kalian paling banyak menghuni neraka. Mereka bertanya: sebabnya apa wahai Rasulullah Saw? Beliau bersabda: “Kalian banyak melaknat, durhakai suami, tiada orang yang lemah akal dan agama melebihi pria kecuali kalian.” Mereka tanya lagi: kenapa kami lemah agama dan akal wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Bukankah persaksian wanita dihitung setengah dari persaksian pria? Mereka jawab: benar. Beliau bersabda; “itulah bentuk lemah akalnya. Lalu bukankah kaum wanita tidak shalat dan puasa karena haid? Mereka jawab: benar. Beliau bersabda: “itulah bukti lemah agamanya.”

            Berikut penjelasan hadits ini untuk menampakkan validitasnya, menghilangkan semua klaim kerumitannya melalui sepuluh point, yakni;

  1. Redaksi hadits ini bersifat spesifik dan mustahil dialihkan atau ditambah. Potongan awalnya ditafsirkan oleh bahagian akhirnya, sedang orang sesat sekedar fokus pada bahagian awalnya lalu mengabaikan akhirnya. Jadi hadits ini menafsirkan dirinya sendiri. Lemah akal wanita ditafsirkan bahwa persaksiannya hanya dihitung setengah persaksian pria. Sedang lemah agamanya ditafsirkan dengan waktu haid yang membuatnya tidak shalat dan tidak puasa.

Jadi, sebagaimana lemah agamanya bukan disebabkan oleh perilaku amoral berupa tindakan dosa atau tidak taktt kepada Allah Swt, demikian pula lemah akalnya bukan karena perilaku menyimpangnya. Namun maksudnya lemah ingatan yang merupakan kodratnya seperti halnya haidnya yang juga merupakan kodrat kewanitaanya.

Berarti hadits ini membicarakan ciptaan dan bukan etika dan moralitas wanita, tidak pula menyudutkan wanita sebagai makhluk idiot, keliru faham dan bodoh. Hal ini dipertegas oleh riwayat Ibnu Umar dalam kitab Shahih Muslim bahwa Nabi Saw bersabda: “Yang dimaksud lemah akal adalah karena persaksian dua wanita itu setara dengan persaksian satu orang pria, ini bukti lemah akalnya, kemudian wanita tidak shalat dan tidak puasa ramadhan ketika datang haid, dan ini bukti lemah agamanya. Hadits ini menegaskan makna nuqshan (kurang/lemah) lantas lafadz mana yang menghina wanita?

Ringkasnya; akal itu memiliki dua unsur utama, yakni; hafalan dan kecerdasan, lalu hadits ini hanya menyebutkan lemahnya hafalan wanita dan bukan lemahnya kecerdasan wanita.

  • Redaksi hadits ini sama sekali tidak menyudutkan apalagi menghina kaum wanita. Nabi Saw hanya menyebutkan titik keheranan di mana wanita mampu memengaruhi bahkan mengendalikan kaum pria, padahal tabiat wanita lemah ingatan dan sering gagal fokus, sedang kaum pria yang dikendalikan wanita itu lebih kuat ingatan dan tekadnya, lalu dari mana dituding hadits tersebut memojokkan wanita?
  • Makna yang disebutkan tidak hanya diketahui dari sunnah, namun al-Qur’an juga menyebutkannya. Firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah;

وَاسۡتَشۡهِدُوۡا شَهِيۡدَيۡنِ مِنۡ رِّجَالِكُمۡ​ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُوۡنَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ وَّامۡرَاَتٰنِ مِمَّنۡ تَرۡضَوۡنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنۡ تَضِلَّ اِحۡدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحۡدٰٮهُمَا الۡاُخۡرٰى​

Terjemahannya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang lain mengingatkannya.” (Qs; al-Baqarah: 282). Makna tadhilla dalam ayat ini adalah lupa.

  • Hadits ini menceritakan dialog Nabi Saw bersama kaum Muslimah. Mereka bertanya apa maksudnya seraya berkata: apa maksud lemah agama dan akal kami wahai Rasulullah? Seolah mereka berkata: pernyataan ini aneh bagi kami karena kami tahu syariat Islam memuliakan kaum wanita, jadi apa maksud pernyataan ini? kemudian Rasulullah Saw pun menjawabnya dengan jawaban yang mudah difahami, jelas dan lugas.

Pertanyaannya; bagaimana sikap para sahabiyat setelah mendengar jawaban itu? Apakah mereka menentangnya? Atau minimal resah dan jengkel? Jawabannya: mereka membenarkan jawaban yang berdasarkan fakta tersebut. Kenapa? Karena pernyataan itu benar adanya dan memuat informasi yang benar dan faktual tentang realitas hidup kaum wanita.

  • Ketetapan dalam hadits tersebut, seperti umumnya hadits menyebutkan kondisi wanita pada umumnya. Lalu hanya berkaitan dengan kodrat kewanitaan dalam hal kejelian dan ingatan, sama sekali tidak merendahkan kaum wanita.

Sementara terkait kecerdasan dan kepintaran maka itu adalah karunia yang diberikan Allah Swt kepada kaum pria dan wanita secara bersamaan. Banyak wanita yang lebih cerdas dari banyak kaum pria. Sebutlah seperti Aisyah, Fathimah, Ummu Salamah dan yang selevel mereka. Tidak dipungkiri kalau mereka lebih cerdas dan lebih pintar dari banyak kaum pria, bahkan tidak bisa dibandingkan sama sekali.

  • Jika saya katakan, secara umum fisik wanita lebih lemah dan lentur ketimbang pria, apakah berarti saya merendahkan wanita? Jawabnnya pasti tidak. Demikian pula jika saya katakan, secara umum pria lebih kuat ketimbang wanita dalam hal kejelian dan menanggung beban persaksian, terutama dalam hal ekonomi dan harta akibat pria lebih intens berinteraksi dengan dunia ekonomi, maka saya tidak dianggap menghina wanita.

Sebagimana pula jika saya katakan, wanita lebih lembut ketimbang pria, saya pun tidak sedang merendahkan wanita.

Kalau saya katakan, otak pria lebih besar sehingga lebih focus, pandangannya bisa lebih tajam, namun indera pendengaran kaum wanita jauh lebih kuat ketimbang pria, seni berbelas kasih lebih kuat di wanita, termasuk dalam menyayangi dan mengasihi. Pernyataan ini bukan berarti merendahkan wanita, bahkan bukan mempertentangkan antara kaum pria dan wanita, namun menunjukkan bahwa relasi antara keduanya adalah saling melengkapi dan saling menyempurnakan.

Jadi, persoalannya tidak lebih dari sekedar kelebihan dan kodrat yang dikaruniakan Allah Swt kepada masing-masing mereka menurut hukum kesesuaian. Kecantikan wanita tampak saat mempertahankan kewanitaannya, dan ketampanan pria terlihat dalam kelaki-lakiannya, dengan begitu kehidupan ini akan harmonis. nalar dan logika lebih dominan pada kaum pria, sedang rasa dan kelembutan lebih kuat pada wanita. Kaum pria memimpin wanita berkat bimbingan akal logikanya yang kuat, sedang wanita menuntun pria dengan ras dan kelembutannya. Dan kita bersyukur karena ketetapan itu, karena andai kaum wanita sepadan daya fikirnya dengan kaum pria maka kehidupan akan berantakan. 

Bagaimana rasanya kehidupan berjalan andai kaum ibu, istri, saudara perempuan, putri seperti kaum pria yang tidak atau kurang berperasaan dan kurang kelembutan?

  • Alasan persaksian wanita dihitung setengah persaksian pria dalam persoalan harta benda dan sejenisnya akibat wanita rentan lebih pelupa dan abai ketimbang pria. Kurang perhatian, termasuk kebiasaan datang bulan yang memberi beban batin dan mentalitasnya; haid berpengaruh pada jiwa, hamil juga berpengaruh, menyusui demikian pula. Belum lagi perasaan dan reaksi berlebih terhadap sentuhan rasa. Semua itu berpengaruh besar pada persaksiaannya sehingga dia memerlukan kekuatan tambahan, sementara hak manusia perlu sikap kehati-hatian ekstra demi mengamankannya dari kriminalitas orang lain.
  • Persaksian wanita yang dihitung setengah persaksian pria bukan berarti merendahkan wanita. Sebab penunjukan sebagai saksi bukan kehormatan atau kedudukan yang diperebutkan. Sebaliknya, penunjukan sebagai saksi sengketa hanya beban dan kesulitan tambahan. Jadi, pengurangan beban dalam bentuk penujukkan saksi lain yang ikut membersamainya sesungguhnya malah bentuk perhatian dan meringankan bebannya.
  • Andai syariat mendudukkan wanita sebagai makhluk bodoh yang tak tahu apa-apa, maka pasti tergambar dalam syariat itu sendiri. Faktanya, hal tiu tidak ditemukan. Malah, secara umum, yang ada kaum pria disepadankan dengan wanita, juga adalah bahwa; “Wanita itu saudara kandung pria” sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih (HR. Abu Dawud, no. 236 dan al-Tirmidzi, no. 113).

Wanita sama denga pria pada beban syariat secara umum, termasuk dalam hal ibadah, perintah dan larangan, dalam hak kewenangan dan tindakan hartawi, sanksi syariat dan balasan akhirat. Dikecualikan pada persoalan-persoalan spesifik dan tidak berarti wanita dihinakan dan direndahkan seperti yang didengungkan kaum buta hati.

  1. Andai syariat cenderung merendahkan dan meremehkan wanita maka semestinya tidak diberikan ruang persaksian sama sekali. Namun, realitasnya syariat tetap memberikan ruang persaksian dua orang wanita dihitung setara dengan persaksian satu orang pria dalam beberapa sektor.

Bahkan persaksian wanita seorang diri diakui syariat sebagaimana disebutkan para ulama, utamanya pada persoalan-persoalan yang hanya diketahui wanita, seperti persoalan menyusui, melahirkan, kekurangan, aib wanita dan sebagainya. Para ulama sepakat menerima persaksian seorang wanita dalam kasus-kasus seperti ini.

Oleh sebab itu, tema ini secara keseluruhan menggambarkan perhatian syariat pada spesialisasi masing-masing pria dan wanita, mana yang cocok untuk wanita dan mana yang pas untuk pria dengan tetap memperhatikan perbedaan personal antara keduanya, menjaga hak masing-masing dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.

            Contoh Ketiga:

            Dalil yang disalahfahami dan diselewengkan maknanya adalah dalil mengenai memukul wanita yang disebutkan Allah Swt dalam firmannya:

وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ​ ۚ

            Terjemahannya: ‘Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,2 hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (Qs; al-Nisa’: 34).

            Penjelasannya dapat dilihat melalui beberapa hal, yakni;

  1. Diharuskan memperhatikan semua dalil syariat saat mengulas persoalan-persoalan spesifik. Siapapun dilarang hanya menukil satu dalil lalu membuat kesimpulan hukum. Jika itu terjadi, maka musthail orang bisa memahami syariat dengan tepat. Jadi, sebelum mengulas persoalan memukul wanita, maka bagaimana Islam menata relasi interaktif antara istri dan suami difahami dengan benar. Bagaimana pesan yang banyak dianjurkan syariat untuk berbuat baik dan memuliakan istri atau pasangan. Kalaupun ada satu dalil yang bolehkan memukul wanita, maka banyak dalil lain yang perintahkan berbuat baik kepadanya.

Tidak tepat bila seseorang mengabaikan dalil-dalil yang banyak itu lalu hanya berpatokan kepada satu dalil. Jika semuanya digabungkan maka akan tampak aturan syariat yang lebih jelas dan sempurna.

  • Wajib memahami bagaimana Islam menjawab pertanyaan: bagaimana Islam menata relasi antara suami dengan istrinya? Jawabannya: bahwa Islam mendudukkan relasi keduanya dengan sangat terhormat, relasi kebersamaan mengarungi kehidupan, di mana keduanya seolah satu ruh dalam dua jasad.

Ikatan pernikahan menurut Islam adalah semacam lembaga yang memerankan fungsi social. Kedua pionirnya memiliki tanggungjawab masing-masing; suami memegang kendali kepemimpinan, menejerial dan pembiayaan operasional. Sedang istri berperan sebagai tenaga pendidik, mengurus rumah tangga, dan menumbuhkan suasana gembira dan bahagia. Agar bahtera rumah tangga berjalan baik, maka relasi antara istri dan suami wajib kuat dalam ikatan cinta, kasih sayang dan saling pengertian.

Hanya saja, terkadang muncul persoalan yang menggoyang relasi itu, lantas solusinya apa? Islam meletakkan langkah dan tahapan menyikapi kasus-kasus keluarga insidental, jika problemnya berasal dari suami maka solusinya juga ditujukan padanya, dan jika problemnya dari istri yang solusinya ada dia juga.

Ayat yang terdapat dalam surah al-Nisa; ini merupakan salah satu aturan dan tata kelola problem yang bersumber dari istri, subjek atau dokternya adalah sang suami. Proses penyelesaiannya pun dilakukan secara bertahap. Firman Allah Swt:

فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ

Terjemahannya: “hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (Qs: al-Nisa’: 34).

Nasehat dan saling mengingatkan diharuskan, jika tidak membaik keadaannya maka beralih ke tahapan kedua; berpisah ranjang. Jika pun tidak membaik maka beralih ke tahapan ketiga yakni memukul. Di titik inilah para musuh ribut; bagaimana mungkin suami boleh pukul istrinya.

  • Apakah tindakan memukul merupakan penawar pertama? Jawabnya seperti sebelumnya bahwa tidak, namun dia hanya solusi akhir bagi seorang suami bila solusi sebelumnya tidak bermanfaat, atau bahkan negatif hasilnya, barulah tindakan memukul jadi pilihan. Jadi, ini point pertama yang wajib difahami dengan baik. Tindakan memukul hanya pilihan solusi terakhir, tidak dilakukan kecuali dalam kondisi terpaksa.
  • Bagaiaman pukulan yang dibolehkan? Pukulan kala didengar pertama kali disebutkan dalam ayat bukan jenis pukulan yang terlintas dalam fikiran masing-masing orang, yang bernuansa keras, kejam, menyakitkan, patahkan tulang, kucurkan darah, ditimpakan pada wajah dan anggota tubuh sensitif lainnya. Bukan itu makna pukulan di sini, namun yang diinginkan telah dijelaskan dalam sunnah bahwa: “Dia jenis pukulan yang tidak menyakitkan.” Tidak meninggalkan bekas pada tubuh sebab sejatinya hanya dijadikan media pesan untuk berubah, bahwa hanya sekedar tekanan jiwa dan bukan siksaan fisik.

Atha’ berkata; “saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: bagaimana pukulan tidak menyakitkan itu? Beliau jawab: yakni memukul menggunakan siwak atau semacamnya. (Tafsir al-Thabari, 6/712) atau dengan kayu kecil ini, disebutkan al-Thabari dalam tafsirnya, 5/172, seperti ranting dan sejenisnya, karena yang diinginkan adalah berubah menajdi baik dan bukan yang lain.”

Jadi, jenisnya adalah pukulan cinta dan kasih sayang, bukan pukulan dendam dan menyiksa, persis seperti pukulan ayah penyayang ke anaknya akibat satu kesalahan, lantas apakah hal seperti itu dianggap aib atau problem?

  • Pelanggaran apa yang bolehkan seorang istri dipukul? Bila ditelisik penjelasan sebelumnya, pasti diyakini bahwa sebab seorang istri boleh dipukul bukan pelanggaran ringan atau kesalahan sepele, namun mesti persoalan besar dan pelanggaran berat sehingga solusinya berupa pukulan.

Pelanggaran yang dimaksud sudah sampai pada mengancam keberlangsungan kehidupan rumah tangga di mana untuk mempertahankannnya pemimpin rumah tangga wajib mengambil tindakan tegas. Logika dan nalar sederhana membenarkan tindakan pukulan sayang dan cinta diambil sebagai solusi saat demikian, untuk menjaga keberlangsungan rumah tangga dan menghindarikannya dari keretakan parah.

  • Perlu juga difahami bahwa kewenangan mengarahkan dan membimbing yang diberikan syariat kepada para suami dengan batasan-batasan di atas, telah memberikan hak memilih kepada pihak istri sejak awal, juga hak untuk meminta diceraikan di saat dia tidak rela lagi hidup bersama. Seorang istri tidak dipaksa untuk hidup bersama dengan suami yang tidak dia senangi lagi, karenanya dia berhak mengajukan pisah. Lalu ketika suami enggan mengikuti kebenaran maka sang istri boleh melepaskan diri darinya, karena pria tersebut tidak layak jadi suaminya.
  • Perlu juga dicamkan baik-baik, bahwa ayat yang membolehkan suami menggunakan tindakan pukulan sebagai media membimbing adalah ayat yang sama yang mengingatkan para suami untuk tidak melampaui batas. Firman Allah Swt:

فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا‏ 

Terjemahannya: “Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (Qs: al-Nisa’: 34).

Maksudnya jangan kalian berlaku aniaya wahai para suami karena Allah Swt maha tinggi dan maha besar serta bisa memberikan sanksi bagi kalian.

            Untuk tambahan penjelasan silahkan baca;

  1. Tafsir Ibnu Katsir
  2. Tafsir al-Sa’di
  3. Syarhu Riyadhi al-Shalihin karya Syekh Ibnu Utsaimin.
Terjemahan Kitab Akidahdalilislamtauhid

Navigasi pos

Previous post
Next post

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • PASAL XXXVI – KESESATAN BERFIKIR
  • PASAL XXXV – AJARAN MEDITASI
  • PASAL XXXIV – BAGAIMANA MEMAHAMI DALI SYARIAH (2)
  • PASAL XXXIII – BAGAIMANA CARA MEMAHAMI DALIL SYAR’I (1)
  • PASAL XXXI – PERTANYAAN-PERTANYAAN SEPUTAR IBADAH
September 2025
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  
« Agu    

ahli kitab (2) ahlussunnah (2) akal (3) Akidah (94) Al 'Uluw (2) Allah (4) alquran (29) budaya (4) dalil (2) firqah (2) firqah najiyah (2) hadits (2) hidayah (2) ibadah (3) ibnu katsir (1) ibnu taimiyah (4) ilmu (57) imam ahmad (1) imam syafi'i (9) iman (3) islam (80) kalam (2) kenabian (4) kesesatan (2) kristen (1) kristologi (5) ma'rifah (2) Mahatinggi (1) Maha Tinggi (1) manusia (2) meditasi (1) muhammad (1) muslim (1) nubuwah (3) pengetahuan (10) sejarah (4) sunnah (4) syubhat (3) tafsir (2) takdir (2) tauhid (68) taurat (3) teori (2) tsaqafah (3) wahyu (2)

©2025 AKIDAH.NET | WordPress Theme by SuperbThemes