PASAL XXXIII – BAGAIMANA CARA MEMAHAMI DALIL SYAR’I (1) Supriyadi Yusuf Boni, 15 September 2025 Sumber: Kitab Maraqy al-Wa’yi (Penanaman & Peningkatan Kesadaran) Penulis: Prof. Dr. Shaleh bin Abdul Aziz Utsman Sindi Penerjemah: Supriyadi Yousef Boni Editor: Idrus Abidin Tema yang diulas pada pasal ini termasuk tema hangat dan sering didiskusikan. Kekeliruan yang terdapat di dalamnya berat dan mengkawatirkan. Selain itu, sebagian generasi muda sulit menyikapinya dengan tepat. Kita merasakan terpaan persoalan berat bahwa sebagian orang tidak dapat menjawab dengan tepat atas pertanyaan; bagaimana cara tepat memahami ayat dan hadits? Sebab utamanya; karena kita hidup di zaman kesemerawutan pengetahuan. Diantara faktornya karena sering kali dalil syariat hanya difungsikan sebagai sekedar alat pembenaran dan legitimasi yang dipermainkan oleh siapapun. Dia tafsirkan sekehendaknya, dia jelaskan di bawah kendali nafsunya. Bahkan, mereka sendiri enggan menyinggung persoalan ekonomi, falak, kesehatan dan sebagainya, namun persoalan syariat dan makna al-Qur’an dan sunnah seolah tak butuhkan penguasaan untuk turut membicarakannya. Mari cermati media sosial, ulasan dan paparan kanal-kanal media, twits, video singkat, dialog interkatif dan sebagainya. Tidak jarang ada yang berani berucap seolah dia berhak memahami dalil syariat sekehendaknya, yang lain lagi menguatkan teori berfikir dinamis, yang lain hendak mengumpulkan dalil pembenar teori matinya penulis (mautu al-mu’allif), yang lain lagi ingin menguatkan toeri Heurmenetika, yang lain menggunakan pendekatan takwil, dan seterusnya. Sungguh pertanda kesemerawutan berfikir yang dahsyat.[1] Musuh-musuh syariat hari ini berupaya menyamarkan dalil syariat dengan mempermainkan prinsip dan kaedah-kaedah Islam. Mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam dengan menggambarkan dalilnya sebatas ilusi atau kandungannya relatif, atau membatasi pemberlakuannya hanya pada masa diturunkannya (historisitas). Mereka harapkan dalil syariat memudar sakralitas dan pengaruhnya di tengah kaum muslimin. Dia hanya diperlakukan sebagai warisan budaya (turats) dan cerita rakyat yang dibanggakan, namun tidak memiliki otoritas dalam mengatur hidup kita. Jadi, tema ini mesti dipaparkan dan mesti diulang-ulang untuk mengatasi kesemerawutan ilmiyah yang fatal. Perlu dicamkan bahwa memahami dalil syariat mesti mengikuti tuntutan dan panduan yang terukur dan konsisten. Perlu juga disadari bahwa ada banyak orang sesat yang menyebarkan syubhat, mengombang ambingkan agama ini, bahkan mereka campur dengan kecenderungan nafsu mereka. Perlu juga diingatkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Jika kalian menemukan orang yang suka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah yang disebutkan Allah Swt, maka waspadai mereka.” (al-Bukhari, no. 4547 dan Muslim, no. 2665). PERLUKAH PANDUAN UNTUK MEMAHAMI DALIL SYARIAT? Sebagian orang berkata; agama itu jelas dan difahami semua orang, tidak patut menyembunyikan penafsiran agama dan agama Islam bukan agama berhala. Pernyataan ini bersifat global, di dalamnya ada yang benar dan ada yang bathil. Penjelasannya; bahwa dalil syariat itu tidak dalam satu level, karena ada dalil yang difahami semua orang. Firman Allah Swt: وَاَقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰ تُوا الزَّكٰوةَ ۚ Terjemahannya: “laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!”” (Qs; al-Nisa’: 77), juga firman Allah Swt: وَاعۡبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡــًٔـا ؕ Terjemahannya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Qs; al-Nisa’: 36). Firman Allah Swt: خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ Terjemahannya: “yang telah menciptakan langit dan bumi” (Qs; al-An’am: 1). Dalil-dalil ini sangat jelas dan diketahui semua orang. Ada juga dalil syarit yang hanya diketahui oleh para ulama. Benar bahwa agama kita tidak mengenal imamah, tidak pula rahib dan biara sebagaimana pemahaman gereja. Akan tetapi, agama Islam mengenal ulama, ahli dzikir, ada juga yang ahli menarik hukum dari dalil. Jika tidak demikian, maka tiada makna dari firman Allah Swt; فَسۡـــَٔلُوۡۤا اَهۡلَ الذِّكۡرِ Terjemahannya: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,” (Qs; al-Nahl: 43), juga firman Allah Swt: لَعَلِمَهُ الَّذِيۡنَ يَسۡتَنۡۢبِطُوۡنَهٗ مِنۡهُمۡ Terjemahannya: “di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” (Qs; al-Nisa’: 83), juga firman Allah Swt: وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِى الۡعِلۡمِ Terjemahannya: “Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,” (Qs; Ali Imran: 7). Juga sabda Rasulullah Saw: “Keutamaan ulama dibanding seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku dibanding orang terendah di antara kalian.” (al-Tirmidzi, no. 2685). Jadi, kalimat sebelumnya samar bahkan salah sehingga penting dijelaskan. Motif sebagian orang yang memaparkannya adalah menjadikan semua kekeliruan itu sebagai dasar menafsirkan al-Qur’an dan sunnah mengikuti kecenderungannya, walau menyimpang jauh dari kebenaran. Benar, bahwa belajar tidak mesti dibatasi pada orang-orang tertentu, namun otoritas untuk berbicara tentang agama mesti terbatas pada orang tertentu. Siapa saja boleh belajar dan menuntut ilmu, dan kala telah sampai pada level berilmu atau bahkan telah mendalam ilmunya, maka dia boleh berijtihad dan menetapkan hukum melalui proses ijtihadnya sebagai ahli ilmu. Namun orang yang jahil, dia tidak boleh sama sekali bicara syariat. Syariat ini cakupannya luas. Kita mengenal kebenaran syariat, kebenaran kultur kebiasaan, dan kebenaran kebahasaan, lantas kebenaran yang mana digunakan orang jahil? Adapula yang disebut taraduf (sinonim), isytiqaq (derivasi), isytirak (keserupaan makna), ada makna yang difahami dari huruf, makna yang diketahui dari idhafah (penyandaran kata) dan al-athaf (penggabungan kata), ada juga makna yang ditunjukkan oleh perintah dan larangan, ada yang disebut umum (generalis) dan khusus (spesifik), ada ithlaq (tanpa batas) dan taqyiid (dibatasi), ada nasikh (hukum pengganti) dan mansukh (hukum yang diganti), ada mujmal (global) dan mubayyan (rigid), ada hukum taklifi (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) dan wadh’i (hukum penanda), ada bahasan bagaimana menyikapi ta’arudh (kontradiksi dalil) dan tarjih (memilih pendapat yang kuat), ada hadits shahih (valid) dan dha’if (lemah), ada atsar para sahabat, lantas bagaimana sebuah ayat atau hadits dia maknai? Ada pula dalil yang diperselisihkan seperti al-urf (adat kebiasaan), mashalih mursalah (mashlahat netral), istihsan dan sebagainya. Jadi, ada banyak proses memahami dalil dalam melakukan proses ijtihad yang memerlukan ilmu dan kemampuan diri setelah kaedah-kaedah memahami dalil al-Qur’an dan sunnah berdasarkan pemahaman para salaf. Jika tidak, maka orang jahil yang keliru dan semerawut dalam memahami dalil, pasti daya rusaknya lebih besar ketimbang perbaikannya, dan dia pasti membawakan pendapat yang lucu dan menyedihkan. Saya sebutkan diantara contohnya; ada orang yang menafsirkan firman Allah Swt: وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ Terjemahannya: “dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (Qs: al-Maidah: 6) bahwa al-ka’ab adalah tumit dan bukan mata kaki yang di bawah betis sehingga dia hanya mencuci tumitnya dan tidak mencuci mata kakinya. Ada juga orang yang pernah mendengar sebuah hadits bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. berkata: buatkan aku lahat dan pasang batu bata di atasku seperti yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw.” (Shahih Muslim, no. 966). Kata al-labina adalah batu yang terbuat dari tanah. Namun orang itu mengartikannya susu. Jadi setiap ada yang meninggal maka kuburnya disiram dengan air susu karena menurutnya mengikuti sunnah. Disebutkan pula ada orang yang mendengar hadits dalam kitab Shahihain (al-Bukhari, no.5468 dan Muslim, no. 286) bahwa Nabi Saw pernah dibawakan seorang bayi untuk ditahnik namun bayi tersebut tetiba megencingi Rasulullah, lalu kencingnya disiram dengan air. Lantas orang itu mengira bahwa Nabi Saw yang mengencingi sang bayi dan menganggapnya itu sunnah. BAGAIMANA MENSINERGIKAN ANTARA PANDUAN MEMAHAMI AGAMA DAN LEGALISASI IJTIHAD. Jawaban dapat dikaji melalui dua hal; Pertama: Mesti dipilah antara ijtihad dengan sekedar mengakomodir kepentingan. Kedua: Perbedaan yang ada tidak mendeligitimasi kewajiban ittiba’ (mengikuti). Setiap muslim diwajibkan mengikuti wahyu. Firman Allah Swt; وَمَا اخۡتَلَـفۡتُمۡ فِيۡهِ مِنۡ شَىۡءٍ فَحُكۡمُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ؕ Terjemahannya: “Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah.” (Qs: al-Syura: 10). Dua prinsip di atas menunjukkan bahwa ada ada ketentuan dan ketetapan baku yang mengatur bagaimana berinterkasi dengan persoalan-persoalan ijtihadiyah yang disesuaikan masing-masing person, apakah dia mujtahid, muqallid atau yang levelnya antara kedua level itu untuk menghindari terjadinya kesemerawutan persoalan, kesia-siaan bahkan jauh dari kendali nafsu. Seorang muslim dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama atau dihadapkan pada persoalan yang samar, dilarang bermotif sekedar memuaskan keinginannya, atau memilih yang disukai nafsunya, atau seperti yang diungkapkan sebagian orang bahwa memilih yang selaras dengan tuntutan zaman. Namun yang diwajibkan adalah memastikan motifnya untuk meraih ridha Allah Swt dan selaras dengan hukum Allah Swt. Firman Allah Swt: قُلۡ اِنَّ صَلَاتِىۡ وَنُسُكِىۡ وَ مَحۡيَاىَ وَمَمَاتِىۡ لِلّٰهِ رَبِّ الۡعٰلَمِيۡنَۙ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ Terjemahannya: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya;” (Qs: al-An’am: 162-163). METODE MODERN YANG SALAH DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH. Ditemukan banyak metode yang salah dalam mengkaji dalil syariat, namun semua mempunyai titik persamaan pada dua hal, yakni; Pertama; menyelewengkan redaksi dalil dari makna seharusnya dan kedua; menghamba pada hawa nafsu. Hanya saja, ulasan di pasal ini saya batasi lebih pada satu metodologi, yakni; pendekatan modernis-liberal dalam menilai dan memahami dalil, sebab pendekatan ini paling banyak ditemukan di media sosial hari ini. Saya ringkas ulasan ini dalam enam point, yakni; Kelompok modernis merupakan proyek barat yang tidak beririsan dengan warisan keyakinan kita, dia murni bersumber dari rumusan barat, disarikan dari filsafat barat, hasil dari budaya barat. Mereka berupaya menerapkan pengalaman beragama mereka pada agama kita, sebagaimana mereka berupaya memperlakukan agama kita seperti interaksi mereka dengan kitab suci mereka. Jadi, pernyataan mereka tidak lebih dari sekedar kelanjutan dari moderenisasi barat, mereka lupakan kespesifikan kehidupan barat, dimana antara ilmu dan gereja terpisah jauh, juga antara akal dan agama mereka. Sudah diketahui bahwa revolusi industri dibangun di barat di atas puing-puing agama dan warisan keagamaan mereka. Pemikiran modernis dibangun atas dua sikap terhadap wahyu, yakni;Mereka mengingkari kitab suci mereka sebagai wahyu dari Allah Swt. Artinya mereka beralih dari wahyu ilahi kepada karangan manusia. Mereka mengingkari wahyu senatiasa terjaga, mereka menuding al-Qur’an juga sudah diutak-atik oleh manusia. Sementara sunnah mereka serang dengan mengatakan bahwa nabi tidak ma’shum, lalu menganggap sunnah juga bukan wahyu, juga karena sunnah tidak terjaga. Kaum modernis berupaya menihilkan sosok-sosok rujukan kaum muslimin dalam memahami akidah dan ibadah, sehingga mereka hidup dalam kondisi bingung, bimbang dan meragukan semua hal. Semua difahami serba relatif, mengandung kemungkinan-kemungkinan, tidak punya keyakinan pada akidah. Ujungnya, Islam hanya sekedar simbol dan tradisi yang bisa diubah-ubah. Diantara strateginya; menghilangkan semua karya kaum muslimin terdahulu, kesepakatan mereka tidak dianggap, juga pemahaman mereka, kaedah-kaedah rumusan mereka, serta konsep dan metodologi yang mereka rumuskan. Diantara turunannya yang masuk dalam kategori ini adalah menggalakkan teori pemikiran dinamis. Artinya; bahwa wahyu itu semuanya mengandung banyak kemungkinan, tidak ada satu makna yang diinginkan Allah Swt, setiap orang boleh bahkan berhak memahami wahyu sekeinginannya, dan dari sudut yang dia gandrungi. Strategi lainnya mempersoalkan historical nash-nash syariat, dan membatasi otoritasnya hanya untuk waktu tertentu, tempat tertentu yang biasa mereka sebut dengan istilah al-zamkaniyah (terikat dengan ruang waktu). Strategi lain lagi adalah klaim bahwa nash itu kepunyaan pembaca dan bukan penulis, lalu konsep ini diterapkan pada al-Qur’an dan sunnah. Yang lain lagi, menggaungkan semangat merasa cukup dengan al-Qur’an dan tidak perlu sunnah. Persoalan yang banyak ditentang oleh kaum modernis adalah menolak prinsip-prinsip pendalilan, sebab otoritas wahyu sebagai penentu hukum tidak akan jatuh kecuali setelah prinsip-prinsip yang melingkupinya dibongkar. Tujuan proyek modernisasi ini dapat disimpulkan dalam satu kalimat, yakni hendak menghilangkan sakralitas wahyu atau minimal menumbuhkan keraguan kepada wahyu. Slogan yang biasa digaungkan adalah metode Heurmenetika al-Qur’an dan sunnah. Mereka tidak bermaksud mencari kebenaran dan petunjuk, namun yang mereka inginkan adalah membiasakan diri mengkritisi wahyu, menggugat rasa kepercayaan pada wahyu, menihilkan sakralitasnya hingga berujung pada prinsip humanism wahyu dan tidak lagi mengandung unsur ilahiyah, berpedoman pada akal dan bukan wahyu, kehidupan ini hanya sebatas duniawi sedang ukhrawi sebatas ilusi. CARA MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN SUNNAH DENGAN BENAR. Ulasan ini saya ringkas dalam dua bahagian utama, yakni; Kaedah-kaedah dasar Dasar-dasar pemahaman. Bahagian pertama: kaedah-kaedah dasar. Dapat pula disebut pengantar memahami nash yang menjadi penentu kemampuan memahami nash dalil syariat. Kaedah-kaedah dasar ini dirumuskan dalam 10 kaedah: Wahyu adalah rujukan utama dan wajib dikedepankan ketimbang lainnya, juga diyakini bahwa mustahil dapat petunjuk tanpa wahyu. Al-Qur’an dan sunnah adalah sumber utama syariat dan dirujuk setiap muslim untuk menyelesaikan persoalan berat maupun ringan. Keduanya jadi panglima hukum dan pemutus segala sengketa. Firman Allah Swt: وَمَا اخۡتَلَـفۡتُمۡ فِيۡهِ مِنۡ شَىۡءٍ فَحُكۡمُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ؕ Terjemahannya: “Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah.” (Qs: al-Syura: 10). Segala kebaikan, keberkahan dan petunjuk hanya dapat diraih melalui wahyu. Firman Allah Swt: وَاِنِ اهۡتَدَيۡتُ فَبِمَا يُوۡحِىۡۤ اِلَىَّ رَبِّىۡ ؕ Terjemahannya: “dan jika aku mendapat petunjuk maka itu disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (Qs; Saba’: 50). Alasan wahyu dikedapankan, dan dianggap sakral serta menjadi rujukan utama ada tiga, yakni; Al-Qur’an adalah firman Allah Swt, dan sunnah adalah wahyu dari Allah Swt. Jadi, sakralitas al-Qur’an dan sunnah ditetapkan oleh statusnya sebagai wahyu Allah Swt. Wahyu sangat presisi dan ma’shum, terjaga dari segala kekurangan dan kesalahan. Firman Allah Swt: ذٰلِكَ الۡڪِتٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيۡهِۛ Terjemahannya: “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya;” (Qs: al-Baqarah: 2). Juga firman Allah Swt: الٓرٰ كِتٰبٌ اُحۡكِمَتۡ اٰيٰـتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتۡ مِنۡ لَّدُنۡ حَكِيۡمٍ خَبِيۡرٍۙ Terjemahannya: “Alif lām Rā`. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci,1 (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Mahateliti,” (Qs: Huud: 1). Bahwa tanpa wahyu, mustahil seseorang mengetahui dan mendapat petunjuk.Al-Qur’an dan sunnah adalah dua entitas yang tidak kontradiktif dan tidak terpisah. Keduanya saling terikat dan terkait. Tema ini sudah dijelaskan pada ulasan sebelumnya. Agama ini sudah sempurna sehingga tidak perlu ditambah atau dikembangkan. Firman Allah Swt: اَ لۡيَوۡمَ اَكۡمَلۡتُ لَـكُمۡ دِيۡنَكُمۡ Terjemahannya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu” (Qs: al-Maidah: 3), juga firman Allah Swt: مَا فَرَّطۡنَا فِى الۡـكِتٰبِ مِنۡ شَىۡءٍ Terjemahannya: “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab,” (Qs; al-An’am: 38), juga firman Allah Swt: وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ الۡـكِتٰبَ تِبۡيَانًا لِّـكُلِّ شَىۡءٍ وَّ هُدًى وَّرَحۡمَةً وَّبُشۡرٰى لِلۡمُسۡلِمِيۡنَ Terjemahannya: “Dan Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (Qs: al-Nahl: 89). Nash redaksi dalil diinginkan oleh orang yang berbicara lalu difahami oleh komunikan (orang yang diujukan). Tujuan utama seseorang berbicara adalah agar difahami oleh pihak yang dituju. Jika tidak demikian maka pembicaraan hanya sekedar kicauan dan igauan atau perkataan teka-teki semata, tidak berguna dan tidak diperlukan. Sementara wahyu tidak demikian dan tidak pantas dikatakan demikian. Pasalnya Allah Swt menyifati al-Qur’an sebagai: يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُمۡ مَّوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوۡرِۙ وَهُدًى وَّرَحۡمَةٌ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ Terjemahannya: “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (Qs: Yunus: 57), juga firman Allah Swt: وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ Terjemahannya: “Dan Kami turunkan Aż-Żikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka1 dan agar mereka memikirkan,” (Qs; al-Nahl: 44), juga firman Allah Swt: وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِنۡ مُّدَّكِرٍ Terjemahannya: “Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Qs; al-Qamar: 17). Diantara sifat al-Qur’an adalah jelas, penjelas, dan pemberi penjelasan. Jadi mustahil Allah Swt turunkan firman-Nya yang tidak bermakna namun mustahil diketahui keseluruhan maknanya oleh ummat ini. Maknanya, bahwa Allah Swt memiliki ketetapan hukum yang dikandung firman-Nya dan dapat diketahui oleh manusia, difahami benar oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh selainnya lagi. Jika tidak demikian, maka perintah mengikutinya tidak bermakna. Firman Allah Swt: اِتَّبِعُوۡا مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَيۡكُمۡ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ Terjemahannya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,” (Qs; al-A’raf: 3). Andai benar seperti yang diklaim kaum modernis bahwa nash-nash itu sebatas igauan, dimana setiap orang boleh memahaminya sekehendaknya, lantas bagaiman kita berhukum pada al-Qur’an. Firman Allah Swt; وَاَنِ احۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ Terjemahannya: “dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,” (Qs: al-Maidah: 49). Juga bagaimana mungkin ada sanksi bagi yang tinggalkan al-Qur’an, firman Allah Swt; وَمَنۡ لَّمۡ يَحۡكُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡكٰفِرُوۡنَ Terjemahannya: “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Qs: al-Maidah: 44). Termasuk, tidak bermakna larangan berdusta atas nama Allah Swt dan tanpa dasar ilmu, jika setiap orang boleh memahami dan menafsirkan nash-nash dalil syariat sesuai kehendak dan kepentingannya. Tidak akan kontradiksi antara dalil shahih dengan akal yang sehat. Point ini sudah dijelaskan detail pada paparan sebelumnya. Dalil-dalil wahyu terjaga. Sifat terjaga ini berlangsung selamanya semenjak zaman Nabi Saw hingga hari ini. Wahyu dijaga Allah Swt, baik dalam lembaran mushaf, dada dan cetakan, steril, sehingga mustahil dapat diragukan oleh sipapun. Al-Qur’an dijaga Allah Swt dari segala bentuk pengubahan baik berupa penambahan atau pengurangan. Bahkan siapapun mustahil bisa menyisipkan satu huruf ke dalamnya, atau mengurangi satu hurufnya. Demikian pula sunnah, dia dijaga Allah Swt melalui karya dan effort para ulama, mustahil ada yang bisa lolos menyebutkan kata dusta padanya atau keliru menukilnya melainkan pasti akan dikethaui ulama. Persoalan ini pun telah dijelaskan secara detail pada ulasan sebelumnya. Tidak akan terjadi kontradiksi antara dalil syariat dengan maqashid syariat. Tema ini perlu saya jelaskan bahwa; kita tidak ragu bahwa syariat Islam punya tujuan mulia, namun seringkali disikapi salah oleh sebagian orang. Hal itu terlihat dalam paparan mereka yang digelari “Elit intelektual” yang beraliran modernis, rasionalis dan kekinian. Dimana mereka mengajak untuk berpegang pada maqashidu al-syariah, tujuan syariat, ruh syariat. Namun di baliknya ada motif lain, dimana sering dimaksudkan untuk menanggalkan muatan dalil, baik berupa perintah atau pun larangan. Mereka sering mengklaim kontradiksi antara maqashidu al-syari’ah dengan hukum-hukum muatan dalil syariat yang dianggap furu’. Karenanya, mereka mengajak kedepankan maqashid dan tanggalkan hukum-hukum yang ada. Penjelasannya bahwa: sebagian mereka melegitimasi pemahaman dari barat dan dimasukkan ke dalam syariah, atau pemahaman tertentu akibat tuntutan realitas yang dijalani, kemudian dibungkus dengan ilmu maqashid, lalu muatan nash-nash dibuang lalu dilabeli istilah: “sikap adil”, kebebasan, kesetaraan, Kemudian ada dari mereka menyebutkan hadits riwayat al-Bukhari (no. 3017) bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang megganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” Lantas dia berkata; hadits ini bertentangan dengan spirit syariat dan salah satu prinsip umum yakni al-hurriyah (kebebasan). Jadi, ketetapan hukum yang dimuat hadits ini dianulir demi mempertahankan maqashidu al-syariah yakni kebebasan. Ada lagi yang menafsirkan firman Allah Swt: لَا تَاۡكُلُوا الرِّبٰٓوا Terjemahannya: “Janganlah kamu memakan riba” (Qs; Ali Imran: 130) bahwa diantara maqashidu al-syariah adalah menjaga dan menumbuhkembangkan harta manusia. Jadi, hukum dalam ayat ini dianulir demi menjaga terapan maqashid al-syariah. Hakikatnya mereka menjadikan prinsip mengikuti dalil hanya sebatas sarana dan bukan tujuan yang diupayakan untuk diwujudkan. Tujuan utama menurut mereka adalah merealisasikan maqashid sesuai pemahaman mereka, apakah menggunakan dalil syariat atau selainnya. Parameter Kebenaran Pada Tema Ini Dijelaskan Melalui Dua Prinsip Dasar. Pertama: tidak ada kontradiksi antara prinsip syariah dengan turunannya, juga antara maqashid al-syariah dengan dalil syariat. Maqashid al-syari’ah adalah kesimpulan dalil syariah, bukan bahagian apalagi tandingan syariah. Maqashid al-syariah hanya berupa ringkasan dan simpulan dari pandangan meyeluruh dan tela’ah konprehensif terhadap hukum-hukum syariah, dan diwujudkan dalam bentuk kaedah bersifat general. Dengan begitu, mustahil akan bertentangan dengan dalil yang menajdi landasannya. Yang terjadi sesungguhnya adalah kontradiksi antara dalil-dalil syariah dengan kecenderungan hawa nafsu yang dipaksakan ke dalam syariah dengan polesan maqashid lalu menanggalkan hukum-hukum yang bertentangan dengannya. Kedua: Tujuan dan maksud termulia yang diupayakan setiap orang adalah meraih hidayah untuk meniti jalan yang lurus, dan mustahil bisa diwujudkan kecuali dengan ketundukan total kepada nabi Saw: وَاتَّبِعُوۡهُ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُوۡنَ Terjemahannya: “Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (Qs: al-A’raf: 158). Berucap atas nama Allah Swt tanpa dasar ilmu merupakan tindakan berbahaya besar. Firman Allah Swt: وَلَا تَقُوۡلُوۡا لِمَا تَصِفُ اَلۡسِنَـتُكُمُ الۡكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّـتَفۡتَرُوۡا عَلَى اللّٰهِ الۡكَذِبَ اِنَّ الَّذِيۡنَ يَفۡتَرُوۡنَ عَلَى اللّٰهِ الۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُوۡنَؕ. مَتَاعٌ قَلِيۡلٌ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ Terjemahannya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” (Qs: al-Nahl: 116-117). Jadi, sebelum terjun menafsirkan al-Qur’an atau mensyarah hadits, ingatlah baik-baik pesan ini, juga bahwa wahyu itu bukan sesuatu yang biasa dan sederhana. Sungguh wahyu itu sangat mulia, wajib dijaga dan berhati-hati memahaminya. Jangan seseorang berani berbicara atas nama Allah Swt tanpa ditopang ilmu. Silahkan bicara tentang ekonomi, olahraga, atau persoalan sosial. Silahkan sampaikan pendapat yang dianggap benar, dan kalaupun akhirnya salah, maka bebannya masih ringan. Namun terkait dalil syariat, maka perlu berhati-hati, cermati secara dalam dan selalu waspada. Karena berbicara atas nama Allah Swt tanpa dasar ilmu termasuk pelanggaran besar dan dosanya sangat besar. Syariat Islam sangat cocok untuk setiap waktu dan di semua tempat. Setiap orang yang sudah tahu dalil wahyu maka wajib tunduk dan menikutinya sampai hari akhirat. Risalah ini berlaku bagi manusia dan jin, firman Allah Swt; وَاُوۡحِىَ اِلَىَّ هٰذَا الۡـقُرۡاٰنُ لِاُنۡذِرَكُمۡ بِهٖ وَمَنۡۢ بَلَغَ ؕ Terjemahannya: “Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (Alquran kepadanya).” (Qs; al-An’am: 19). Bahkan Isa a.s. ketika diturunkan kembali ke dunia, beliau akan menjalankan syariat Islam. Jadi, Allah Swt yang turunkan wahyu ini sangat tahu apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Haram jauhi wahyu, dan dilarang kedepankan selainnya mendahului wahyu, serta dilarang membatasi pemberlakuannya hanya pada zaman dan tempat tertentu saja. Jadi, klaim “historical dalil” bahwa wahyu diturunkan untuk mengatasi persoalan sosial pada zaman dahulu, dan telah berakhir seiring berakhirnya generasi zaman dahulu. Klaim seperti ini termasuk kekufuran, sesat, mendustai al-Qur’an dan sunnah dan menyelisihi segala hal yang diketahui secara otomatis dan mendasar dalam Islam. Mengikuti wahyu yang shahih merupakan buah keimanan kepada uluhiyah Allah Swt dan keimanan kepada kenabian Muhammad Saw. Artinya sikap ini sangat mulia. Mengagungkan wahyu adalah dengan berkomitemn menjalankannya dan meyakini otoritasnya dalam menetapkan hukum. Jika tidak maka itu pertanda tiada iman dalam diri. Mengulas tentang bagaimana cara memahami dalil dan menjadikannya sebagai pemegang otoritas hukum perlu merujuk pada prinsip ini, apakah memilih iman dengan cara komitmeni wahyu, atau memilih tiada beriman sama sekali. Firman Allah Swt: فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوۡكَ فِيۡمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُوۡا فِىۡۤ اَنۡفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُوۡا تَسۡلِيۡمًا Terjemahannya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs: al-Nisa’: 65). Untuk ulasan tambahan silahkan baca; Kitab al-Ushul fi ilmu al Ushul karya syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. [1] Salah seorang yang aktif produksi video singkat, setiap video mengulas satu ayat atau hadits dengan penafsiran baru yang belum disebutkan sebelumnya, tidak pula berpanduan pada parameter dan ketentuan ilmiyah, tidak pula ditopang oleh makna diksi dan redaksional, dia datang dengan penjelasan memalukan. administratoradminSunting Profil Terjemahan Kitab Akidahdalililmuislamtauhid