PASAL XXVIII : ATHEISME – KESALAHAN DAN KONTRADIKSI Supriyadi Yusuf Boni, 17 Agustus 2025 Sumber: Kitab Maraqy al-Wa’yi (Penanaman & Peningkatan Kesadaran) Penulis: Prof. Dr. Shaleh bin Abdul Aziz Utsman Sindi Penerjemah: Supriyadi Yousef Boni Editor: Idrus Abidin Gerakan atheis modern semestinya tidak dipandang enteng, aktivitas atheisme di media komunikasi sangat giat dan jelas. Mereka menggunakan pola doktrinasi dan merekrut orang awam menggunakan kebohongan logis, maka perlu diperhatikan dengan seksama. Sebagaimana aliran ini juga memuat banyak kontradiktif melebihi aliran pemikiran lainnya, sedang kontradiksi sikap merupakan penanda kelemahan dan kesalahan bagi orang yang sehat akalnya. Olehnya itu, mengetahui kontradiksi mereka menambah bukti kesesatan mereka dan semoga menyadarkan korban tipu muslihat mereka. Saya mulai dengan sebuah warning bahwa bisa saja ada orang yang mengatakan; kenapa sibuk bicarakan atheisme hari ini? apakah gerakan atheisme mulai tampak menonjol di masyarakat muslim hingga perlu diperhatikan? Jawabanya: atheisme adalah fikiran minor dan akan terus minor sepanjang zaman in sya Allah Swt. Namun para aktivisnya yang bekerja keras hari ini, tidak bisa dipungkiri, sementara pintu pemikiran zaman ini sangat terbuka dan tanpa batas. Kemudian, paparan tentang atheisme didorong oleh kesesatannya dan bahayanya bukan semata terkait berapa orang yang jadi korbannya. Tidak dipungkiri bahwa atheisme adalah kekufuran terburuk dan kriminalitas terjahat yang menimpa bumi secara keseluruhan. Lalu sekedar sebagian orang sudah jadi korbannya sudah cukup untuk membunyikan alarm dalam diri kita. Karena rusaknya sebuah apel menunjukkan bahwa iklim bisa merusak apel lainnya. Jadi, wajib berhati-hati dan bunyikan peringatan, mengamati dan beri penjelasan, menganalisa dan tampakkan kewaspadaan. HAKIKAT MANUSIA MENURUT IDEOLOGI ATHEISME. Secara ringkas disebutkan; manusia adalah benda bergerak, dibentuk secara acak oleh sebuah garis, hidup lalu mati, mati dan punah. Manusia tidak punya harapan dan tujuan, tidak perlu bahagia dan cinta, tidak berarti dan bernilai, manusia hanya benda terbuang, kosong, tiada dan penuh kegelapan, tiada berwujud kecuali seperti benda tuli, acak, buta, kosong dan punah. Atheisme adalah pemikiran yang mustahil diakui manusia, sedang iman kepada Allah Swt satu-satunya yang menjadikan hidup ini bermakna, karena Dia memandunya punya tujuan, sebagaimana dia menentukan tujuan setelah kematian. Dan manusia mustahil bisa hidup di dunia tanpa tujuan. Menurut atheisme, manusia tidak bernilai dan tidak istimewa, nilai manusia sama dengan tikus, atau semut, atau bakteri. Perbedaannya hanya pada kumpulan gen. Artinya perbedaannya pada kuantitasnya bukan pada kualitasnya. Sejarah manusia diawali dari satu sel yang berevolusi secara kebetulan hingga menjadi seekor ikan, kemudian bertumbuh menjadi hewan lebih kecil dari monyet, lalu berkembang dan menjadi orang. Jadi manusia adalah hewan yang sama dengan hewan lainnya. Adakah nilai bagi manusia jika tidak mendapatkan pemuliaan dari Allah Swt dan ditundukkannya alam untuk mereka? Manusia tak bernilai sama sekali. Jika kehidupan manusia menurut atheisme hanya sebatas imajinasi, lantas apa yang membuat hidupnya lebih mulia dari kehidupan anjing atau semut? Lantas apa yang menghalangi untuk menggenosida generasi tua yang sudah tidak produktif, atau bayi-bayi yang kurang sempurna fisiknya, atau minimal mereka dijadikan kelinci percobaan untuk penelitian medis. ARTI KESALAHAN DAN SEBAB DIGUNAKANNYA OLEH ATHEISME Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan logika atau kesalahan nalar, sama dengan argumen tipuan. Artinya; hujjah salah namun ditampilkan seolah benar. Diantara metode atheisme dalam debat adalah; menggunakan kekeliruan logika demi memperdaya lawannya, agar menjadi mudah disergap dengan cara sederhana, dan agar mereka menerima doktrin mereka sepanjang debat. Mereka mengangkangi metode ilmiyah berintegritas dalam debat. Contoh Kekeliruan Logika Kaum Atheis Diantara kesalahan nalar mereka untuk mengecoh adalah bahwa jika seorang muslim mendebat mereka dan menjelaskan hukum kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang ada pasti ada yang membuatnya ada, lalu orang athies akan bertanya: saya terima Allah Swt yang menciptakan segala sesuatu, lantas siapakah yang menciptakan Allah? Lantas kenapa Dia sendiri tidak menggunakan hukum kausalitas pada dirinya sendiri? Ini pertayaan salah, karena sang atheis sudah menerima kalau sang pencipta adalah Allah Swt, lalu dia bertanya siapa yang menciptakan Dia? Berarti dia menjadikan-Nya sebagai pencipta dan yang diciptakan dalam waktu bersamaan. Ini bentuk kontradiksi yang sangat jelas menurut nalar. Karena pencipta tidak mungkin diciptakan, sebagaimana yang diciptakan tidak mungkin jadi pencipta. Maksudnya; orang beriman meyakini bahwa alam ini baru, dan sesuatu yang baru pasti ada yang menciptakannya. Jika sesuatu yang baru itu diadakan oleh yang baru juga maka yang baru kedua tidak perlu ada yang mengadakan. Demikian pula yang ketiga, keempat dan seterusnya. Itu artinya; adanya sesuatu yang baru selalu tergantung dengan jumlah tak terhingga atas dasar kausalitas. Itu artinya; bahwasanya tidak akan terjadi. Artinya, meski ada banyak sesuatu yang baru tapi pasti ada yang membuatnya dan bersifat azali dan bukan sesuatu yang baru. Kemudian orang atheis bisa berkata lagi; kenapa kita tidak bisa tanyai Dia seperti pertanyaan kita pada sesuatu yang baru, siapa yang membuat-Nya ada? Pertanyaan ini sungguh aneh, karena selama pencipta bersifat azali dan bukan baru maka tidak pantas ditanyakan siapa yang membuatnya ada? Maksudnya tidak ada seuatu yang membuatnya ada karena Dia ada sejak azali yang artinya tidak ada awal mula-Nya. Jika dia bertanya lagi: apa bukti bahwa Dia azali? Jawabnya; adanya sesuatu yang baharu, yang mana tidak akan ada andai keberadaan-Nya bergantung pada sesuatu yang baru seperti-Nya. Maka adanya sesuatu adalah bukti adanya sesatu yang membuatnya ada, namun Dia sendiri tidak diadakan. Diantara kesalahan logika lainnya adalah kesalahan antropormisme yakni; menyamakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang berfisik. Mereka menfisikkan sesuatu yang abstrak untuk mengecoh. Mereka menyatakan; alam ini memilih makhluk hidup yang selaras, dan memilih yang terkuat. Pertanyaannya apakah alam ini sesuatu yang ada dan memiliki ilmu atau kuasa serta bijaksana sehingga dia mampu menyeleksi? Kesalahan logika lainnya adalah; al-Mushadarah ala al-Matlub artinya menjadikan konklusi sebagai premis atau persoalan menjadi solusi. Jika dikatakan kepada orang atheis bahwa alam ini diciptakan dengan sangat sempurna, dan kesempurnaan itu sangat bertentangan dengan acak. Lalu dia berkata; tetapi kami melihat banyak hal yang sempurna, namun terjadi secara acak. Lalu ditanya ulang; apa saja itu? Dia jawab: alam ini, dia sempurna namun dia tercipta secara acak. Coba perhatikan! yang diminta dari orang atheis adalah membuktikan bahwa alam ini tercipta secara acak, lalu dia jawab; buktinya bahwa alam ini diciptakan secara acak adalah bahwa alam ini tercipta secara acak. Sungguh logika semacam ini merupakan kesalahan logika yang fatal. Kesalahan lainnya adalah; berbeli-belit. Orang atheis kala hendak buktikan teori evolusi dia berkata; kami temukan makhluk hidup itu berevolusi, bakteri menemukan imunitas untuk menghalau antobiotik, dan ini bentuk evolusi. Sejatinya dia hanya berbelit-belit, karena yang dia bicarakan itu adalah perkembangan dan bukan teori evolusi. Teori evolusi menurut mereka adalah perubahan makhluk hidup dari satu jenis menjadi jenis lainnya, misal; perubahan ikan menjadi burung. Kalau perkembangan satu jenis makhluk hidup pada dirinya sendiri maka bukan itu yang dipersoalkan. Bakteri yang sudah diberi imunitas tetap dinamakan bakteri, dia tidak berubah menjadi lalat. Anak kecil yang belum tumbuh besar tetap disebut manusia, dan tidak berubah menjadi seekor gajah atau makhluk angkasa. Bisa juga dia berkata; jikapun tidak ada bukti ilmiyah yang tegas dan jelas menunjang teori evolusi saat ini, maka akan dibuktikan di masa mendatang. Ini juga sikap menghindar dan cara berkelit yang hebat. Bagi orang sehat nalar, semestinya dalil itu lebih dahulu ada ketimbang yang didalilkan. Namun menurut orang atheis; simpulkan apa saja semaumu dan untuk pembuktiannya nanti belakangan. Apakah begitu cara berfikri yang benar? Kesalahan logika lainnya adalah; selalu berkilah. Artinya orang atheis selalu beralih ke persoalan lain untuk menghindari objek debat yang sesungguhnya. Engkau tanya dia tentang pencipta alam, lalu dia jawab dengan hukum alam dan interaksi aktif antar benda, dia sengaja berkilah untuk menghindari pertanyaan siapa dengan menjawab pertanyaan bagaimana. Andai saya bertanya kepadamu; bagaimana mobil diproduksi? Lalu engkau jawab: mobil diproduksi mengikuti hukum mekanik. Maka jawaban ini benar. Namun anda saya tanya, siapa yang produksi mobil? Lalu engkau jawab: mobil diproduksi oleh hukum mekanik. Maka jawaban ini salah total. Sebab hukum itu menjelaskan apa yang terjadi, namun dia tidak bisa mencipta dan memproduksi. Kesalahan logika lainnya adalah; mereka lelah menutupi kelemahan metodologi ilmiyah dengan cara melemparkan serangan brutal terhadap Islam. Lalu mereka sendiri keliru dalam serangannya, mereka sering berdusta atas nama Islam, atau mencampurbaurkan antara sesuatu yang sudah terjadi dengan yang belum terjadi, atau antara yang benar dengan yang salah. Atau mereka menyerang Islam, padahal sejatinya yang mereka serang hanya pemahaman sebagian sekte sesat yang dinjeksi ke dalam Islam. Atau mereka serang Islam, namun yang mereka serang sesungguhnya hanya ijtihad person-person dari kaum muslimin, kemudian mereka generalisasi penghakimannya terhadap Islam secara keseluruhna. Lebih aneh lagi, karena mayoritas mereka menyerang Islam padahal mereka sendiri mengaku kalau ilmu mereka tentang Islam sangat minim atau bahkan nihil. KONTRADIKSI KAUM ATHEIS. Kontradiksi antara penggabungan sesuatu dengan lawannya. Sifat kontradiktif sangat melekat pada semua agama yang bathil dan ajaran sesat. Seumpama engkau diuji membaca beberapa ketetapan dalam atheisme, maka pasti engkau temukan banyak kontradiksi yang sangat fatal. Faktanya, sejarah manusia belum pernah melihat kontradiksi seperti kontradiksi yang menimpa orang yang mengingkari adanya pencipta. Karena pengingkarannya sendiri sudah menjadi bentuk intimidasi terhadap akal sehat dan mengabaikan kerja indera. Ditambah pertentangan antara makhluk yang menyelisihi pernyataan mereka, baik secara verbal maupun non verbal. Yang pertama adalah pertentangan dengan fitrah yang lurus. Fitrah manusia mengakui adanya sang pencipta alam, sedang kaum atheis mengatakan tidak ada pencipta. Di sini orang atheis terjebak berkontra dengan dirinya sendiri. Sebab, tabiat manusia pasti selalu berfikir, lalu mengamati silsilah ciptaan, juga mengakui bahwa semua hasil produksi dan hal-hal yang baru seperti yang dilihat setiap hari, tidak mungkin tercipta secara kebetulan. Lantas bagaimana mungkin alam yang begitu besar beserta langit dan bumi serta tumbuh-tumbuhan dan juga orang yang tinggal di dalamnya, tetiba muncul dari ketiadaan dan berlangsung secara kebetulan. Kemudian fitrah manusia, sebagaimana dia mengakui segala yang baru pasti berawal, maka dia juga mengakui bahwa segala yang ada pasti akan berakhir, dia juga menyaksikan orang ekspire setiap hari karena meninggal, sebagaiman dia juga menyaksikan hal yang baru tumbuh dan hidup. Dualisme ini menanamkan dalam jiwa hakikat ketergantungan manusia kepada selainnya. Dan bahwa pasti ada yang mengendalikan hidup manusia yang mustahil dipungkiri. Jadi, kesalahan fatal atheisme adalah karena dipaksa berkontra dengan diri sendiri dan keterikatan salah antara sesuatu ditambah intimidasi brutal terhadap akal dan fitrah. Di sisi yang lain, atheisme menentang fitrah mereka sendiri kala mengingkari status baik dan buruk yang menjadi standar etika bagi manusia. Kontradiksi ini membuat fitrah diserang keraguan ilmiyah dan etika, sebagaimana fitrah diserang kebimbangan dalam menilai baik dan buruk. Seorang atheis musthail dapat meyakinkan atheis lain dengan pendapatnya berkenaan dengan etika atau moral. Sebab setiap orang atheis memiliki pemahaman sendiri mengenai etika, benar dan salah yang berbeda antara satu dengan lainnya. Persoalan ini tambah rumit ketika menjadikan problematika keburukan sebagai dasar menafikan keberadaan Allah Swt. Tentu ini sangat aneh. Orang atheis hanya mengenal materi, mereka menganggap bahwa segala sesuatu awalnya berupa benih bertebaran lalu bertabrakan dan jadilah alam ini secara kebetulan. Dengan begitu, etika bersifat relatif, tidak ada keburukan dan kebaikan, segala sesuatu bergerak dalam goncangan kebutaan tanpa tujuan, lantas bagaimana berdalil keburukan jika kondisinya sudah separah ini. Lantas apa standar keburukan itu? Pasti tidak akan ada standar keburukan kecuali jika sang atheis mengaku bahwa ada Tuhan yang menanamkan fitrah dalam hati yang bertugas membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk. Sementara bagi atheisme, segala sesuatu berada dalam level yang sama. Tidak ada perbedaan antara engkau beri makan anak yatim atau engkau tembak kepalanya dengan senjata api. Kemudian pendalilan orang atheis dengan problematika keburukan menunjukkan bahwa pemahamannya tentang Tuhan salah besar, bahwa Allah Swt adalah sang pencipta, luas ilmu dan hikmah-Nya, maha kuasa dan maha mulia, Dia melakukan apapun yang dikehendaki dan menghukumi apapun yang diinginkan. Sedang semua makhluk adalah hamba-Nya, ini semua tidak difahami orang atheis, atau mereka memang tidak mau memahaminya. Tuhan menurutnya secara ringkas adalah seperti alat atau pembantu. Alat yang melakukan apapun yang sudah diprogram untuknya, atau pembantu yang bertugas melakukan apapun yang diperintahkan, tidak memiliki wewenang apapun kecuali menunaikan perintah makhluk. Karenanya; jika seseorang dari mereka ditusuk duri kecil dia berteriak; tidak ada Tuhan, sebab andai ada Tuhan maka tidak mungkin hidup jadi susah. Inilah Tuhan menurut yang mereka fahami, dan maha suci Allah Swt dari segala keburukan mereka. Kontradiksi lainnya adalah; mereka tuduh agama – khususnya Islam – sebagai biang kerok perang di dunia ini. Pertanyaannya adalah; apakah jika agama hilang dari kehidupan manusia ditambah pengingkaran mereka terhadap adanya pencipta, maka otomatis dunia akan makmur dan tenang? Kira-kira bagaimana mereka jika dikatakan bahwa pembunuh paling banyak di dunia ini adalah penganut atheisme. Apakah Mao Tsi – pembunuh terkejam sepanjang sejarah dan telah membunuh tidak kurang dari 50.000.000 orang, adalah seorang muslim? Ketahuilah dia seorang atheis. Apakah Stalin yang telah membunuh sekitar 34.000.000 orang adalah seorang muslim? Dia itu atheis sejati. Apakah Hitler yang menyebabkan sekitar 9.000.000 sampai 20.000.000 orang terbunuh adalah seorang muslim? Dia itu atheis tulen. Apakah Lenin yang telah membunuh 4.000.000 orang adalah seorang muslim? Dia itu atheis murni. Masih panjang daftar pembunuh dan penjahat. Lantas apa jawaban orang atheis terhadap semua itu? Semua yang dilakukan para pembunuh itu adalah hukum alam yang disimpulkan oleh Fredric Nietceh dalam pernyataannya; penindas kaum lemah dan berdiri di atas mayat-mayat mereka.” Bandingkan antara ajaran atheisme dengan ajaran Islam, firman Allah Swt: فَاَمَّا الۡيَتِيۡمَ فَلَا تَقۡهَرۡؕ. وَاَمَّا السَّآٮِٕلَ فَلَا تَنۡهَرۡؕ Terjemahannya: “Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).” (Qs: al-Dhuha: 9-10). Pernyataan Nietceh ini adalah puncak logika atheisme, inilah yang dijalankan oleh Lenin, Mao, Stalin dan semacamnya. Di sisi lain, apakah atheis tahu bahwa Nabi agama Islam Saw yang mereka musuhi dan musuhi agamanya, para sahabatnya selama masa perang melawan musuh-musuhnya yang lamanya sekitar hampir 20 tahun hanya membunuh sekitar 625 orang saja? Orang bisa saja berkata; senjata yang digunakan antara dua zaman itu berbeda. Di zaman dahulu belum ada bom, roket atau pesawat tempur. Jawabannya; bahwa andai nabi Saw dan para sahabatnya memang haus darah seperti kaum atheisme maka jumlah korban sejatinya berkali-kali lebih banyak dari yang ada saat itu. Apakah bangsa Tartar seperti kaum atheis ketika menyerang negeri kaum muslimin tahun 656 H menggunakan tank-tank, bom dan pesawat tempur? Padahal mereka telah membunuh sekitar 2.000.000 muslim di Baghdad. (al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir, 17/361). Nabi kami adalah sosok penyayang. Firman Allah Swt; وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ Terjemahannya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Qs; al-Anbiya’: 107). Agamanya adalah agama rahmat dan para sahabatnya terdiri dari manusia paling penyayang, mereka tidak pernah haus darah. Inilah rahasia sesungguhnya. Pada peristiwa Fathu Makkah, keselamatan orang-orang yang memusuhi Nabi Saw, menganiayanya, bahkan mengusirnya dari Makkah berada di tangannya. Andai Beliau Saw mau membunuh ribuan dari mereka, tentu tidak ada yang bisa menghalanginya. Namun demikian, tahukah engkau berapa yang terbunuh saat itu dari kalangan kaum musyrikin? Hanya 24 orang saja. Padahal mereka itulah dahulu yang menyerang dan membunuhi para sahabat. (al-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, 7/395). Apa lagi yang akan dikatakan orang atheis? Diantara bukti kalau kaum atheis tidak serius mengulas persoalan ini adalah mereka menyamakan semua agama. Mereka memperlakukan semua agama dengan cara yang sama, menghukuminya secara merata. Mereka tidak bedakan antara siapa yang menyembah Allah Swt yang maha agung, Tuhan para manusia dengan siapa yang menyembah sapi, batu atau pohon. Sungguh bentuk kezaliman yang nyata. Ambil contoh sederhana yang menunjukkan kontradiksi mereka: Orang atheis mengingkari adanya Allah Swt sebagai pencipta, sedang mereka percaya bahwa alam yang beragam ini adalah para pencipta, alam ciptakan dirinya sendiri, sistem acak mencipta dirinya, bumi mencipta dirinya, lantas kenapa membantah kalau Allah Swt mencipta? Orang atheis meyakini bahwa cara mengetahui sesuatu harus lewat percobaan empirik, lalu semua yang menyelisihi percobaan empirik adalah omong kosong dan kedustaan belaka. Karenanya mereka ingakri agama dan alam ghaib serta mukjizat. Lalu mereka sendiri meyakini teori evolusi, sekalipun termasuk persoalan ghaib, baik secara parsial atau general, tiada seorang pun yang pernah melihat sel pertama, tidak pula pernah ada yang melihat mutasi secara acak, juga tidak pernah ada yang tahu bagaimana seleksi alam berlangsung, juga entitas mediator, apalagi dilakukan percobaan empirik. Orang atheis tidak percaya kecuali pada benda material yang ada, lalu mereka percaya bahwa ketiadaan mendatangkan sesuatu yang ada (sel pertama menurut mereka muncul dari ketiadaan). Orang atheis coba berkilah dan berkata; oleh karena kita tidak pernah melihat Allah Swt, maka Allah Swt diyakini tidak ada. Ini sesungguhnya keangkuhan terhadap akal sehat dan realitas. Karena, andai kita berpijak pada kaedah mereka dalam ruang ilmiyah bualannya, maka akan terbantahkan semua dasar-dasar ilmu empirik sejak awal, padahal orang atheis sendiri mengklaim berdasar pada kaedah itu. Faktanya tiada seorang ilmuwan pun yang pernah melihat gravitasi, elektron, eter dan tidak pula atom… dalam rantai panjang kebenaran ilmiyah. Tidak dilihatnya Allah Swt di dunia, dan tidak diketahuinya hakikatnya bukan berarti dia tidak ada. Cukuplah akal menyimpulkan keberadaannya melalui ciptaan-Nya. Ketika orang atheis membatasi pengetahuan itu pada sesuatu yang diindera, maka mereka semestinya tolak semua informasi kebenaran yang ada melalui bukti-bukti meyakinkan non inderawi. Tentu sikap ini merupakan keangkuhan menurut kaum berakal sehat. Sebab ilmu itu diraih melalui indera dan akal, juga diketahui melalui informasi yang benar. Anehnya, mereka itu penuh kontradiksi, karena mereka menolak dan menerima informasi dalam waktu bersamaan. Ketika seseorang dari mereka berdalilkan teori tertentu, lalu ditanya; apakah engkau sudah terapkan pada dirimu? Dia jawab; tidak. Namun fulan berkata demikian, dan ditegaskan oleh si anu. Fakta ini mematahkan metode mereka, karena mereka sudah membenarkan sesuatu yang mereka yakini berdasarkan informasi, bukan berdasarkan fakta inderawi. Lantas kenapa mereka mengecam orang beriman, karena meyakini informasi tentang alam ghaib dalam agama? Jika informasi kaum atheis mengenai sesuatu yang inderawi, maka informasi Rasul Saw mengenai persoalan ghaib juga sesuatu yang inderawi, walaupun itu terjadi setelah kematian. Jika ini berupa informasi dan itu juga berupa informasi, maka informasi para rasul jauh lebih patut diterima karena adanya dalil tegas menjamin kebenaran mereka. Jadi, metode atheisme adalah metode kontradiktif, mendustakan sesuatu lalu membenarkan sejenisnya. Mereka dustakan bahwa Allah Swt ciptakan Adam dari tanah, lalu manusia berkembang setelah itu, karena dianggap ghaib dan tidak terindera. Namun di sisi lain mereka percaya teori evolusi atau alam beragam, padahal itu juga ghaib bagi dia, namun dia tetap terima hanya karena sumbernya atheisme. Kemudian yang itu mereka tolak karena sumbernya wahyu al-Qur’an. Jadi metode mereka adalah metode kontradiktif, penentunya hanyalah hawa nafsu. Orang atheis mengecam orang muslim karena mengimani ketetapan sunnah, bahwa matahari sujud di bawah Arsy, maka mana yang layak dikecam; pernyataan atheis bahwa matahari sangat jahat, sangat panas, melayang di angkasa di orbitnya secara teratur dan terbatas, tidak mungkin melewatinya walau seperti langkah semut. Atau matahari beserta pergerakannya dan panasnya; semua itu terjadi secara kebetulan tanpa pencipta. Atau pernyataan yang mengatakan bahwa yang menciptakan matahari adalah dzat pencipta yang maha agung, maha kuasa, Dia menggerakkannya sesuai kehendak-Nya, dia perintahkan untuk sujud di bawah Arsy di tempat tertentu, tanpa kita ketahui hakikatnya? Tidak ragu, pasti pernyataan kedua yang layak diterima oleh setiap orang berakal sehat. Orang atheis mengaku bahwa dia berakal sehat, dan bahwa dia selalu tunduk pada akal, kemudian dia percaya kala benda tuli tidak berakal menjadi berakal secara kebetulan. Lantas bagaimana akal bisa percaya itu? lalu bagaimana akal percaya sesuatu yang muncul secara kebetulan. Terakhir, orang atheis berasumsi bahwa sangat alami jika meyakini tiada sang pencipta, dan orang yang mengaku ada pencipta mesti dituntut datangkan dalil. Padahal yang benar adalah sebaliknya, bahwa yang alami adalah apa yang diimani umumnya manusia, atau yang mereka rasakan secara spontanitas dalam jiwa mereka, sedang mereka yang menentangnya yang mesti diminta datangkan dalil. Maha suci Rabb yang maha agung. Apakah masih ragukan adanya Allah Swt, padahal setiap sesuatu pasti ada petunjuknya. Bahkan ucapan mereka bahwa tidak ada rabb itu adalah bantahan terhadap mereka sendiri. Firman Allah Swt; فَاِنَّهَا لَا تَعۡمَى الۡاَبۡصَارُ وَلٰـكِنۡ تَعۡمَى الۡـقُلُوۡبُ الَّتِىۡ فِى الصُّدُوۡرِ Terjemahannya: “Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Qs; al-Hajj: 46). Terjemahan Kitab Akidahilmuislamtauhid