SUMBER REFERENSI ESENSIAL AL-QUR’AN Idrus Abidin, 30 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber: Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis: Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah: Idrus Abidin. Prolog Mempelajari sumber asli buku apapun seharusnya lebih didahulukan dibanding mempelajari kandungan isinya. Adapun al-Qur’an, mempelajari sembernya harus berbeda dengan prinsip dankaedah ini. Karena keyakinan bahwa sumbernya bernuansa ketuhanan bukan semata sebagian dariseruannya, tetapi itu merupakan bagian paling mendasar dari kitab ini. Karena al-Qur’an dari sejak awal hingga akhirnya berbicara kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam atau Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam membicarkannya tidak pernah berpisah dengan beliau sedikit pun sehingga membiarkannya mengungkapkan pikiran sendiri…. Akan tetapi, kenapa penuturan al-Qur’an dan pemikiran yang dikandungnya tidak dinisbatkan kepada pribadi (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam) yang membawanya ?! Bagaimana mungkin kita jadikan pribadi yang dimaksud hanya sekedar sebagai penerima murni yang mengajukan kitabnya secara lengkap dan sempurna sebagaimana ia terima dari sumber luar dan tidak bertipe manusia ?! Hal yang tidak patut diragukan bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, beliapun seringkali menegaskan hal ini, bukanlah orang pertama yang mengklaim telah menerima wahyu. Bahkan beliau jauh lebih tawadhu dibanding Musa yang menerima Taurat –sebagaimana penuturan al-Qur’an- dengan cara pertemuan langsung antara nabi Musa dengan Allah, di mana beliau mendengar langsung ucapan Allah. Sedangkan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, al-Qur’an merupakan ucapan utusan langit, yang menjadi perantara antara beliau dengan Allah. Selain perbedaan ini, mereka berdua sepakat dalam menisbatkan apa yang mereka terima kepada Allah. Adapun mereka yang tidak mengingkari wahyu dari sisi prinsipnya secara umum, mereka punya hak untuk tidak menerapkannya pada fenomena tertentu kecuali semua kesempatan menafsirkannya berdasarkan analisa umum untuk fenomena ini sudah tertutup. Jika pada akhirnya mereka tidak mengakuai sumber ketuhannya secara langsung, maka pengakuan itu nanti adanya pada akhir penelitian, dan pembuktian ilmiah setelah semua sarana yang memungkinkan untuk itu telah habis. Jadi, pembahasan kita ini harus dijauhkan dari argumentasi yang mengandalkan kemukjizatan bahasa dalam al-Qur’an yang menegaskan sumber ketuhanannya, lalu kita berusaha mencari kemungkinan lain untuk menganalisa pemikiran yang dikandung al-Qur’an dengan sebab lain selain argumentasi wahyu. Walaupun sebenarnya terdapat banyak penelitian dan pembahasan yang menggunakan metode ini pada masa lampau yang membuat penelitian terbaru yang ada pada saat ini pada bidang yang sama hanya sekedar pengulangan terhadap fakta lama, sekalipun berbeda dari sisi bentuk dan metodenya. Pada bab ini kita akan menelusuri sistematika waktu (sejarah), sehingga penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tentang tahapan periode Makkah dan tahapan periode Madinah secara berurutan. Pasal pertama Pembahasan Seputar Sumber Referensi Al-Qur’an Pada Periode Makkah Perantara kaum pagan – orang-orang lurus (hunafaa) – kalangan Shabiun – unsur-unsur Masehi dan Yahudi – data perjalanan Rasul dan pengamatannya – penelaahan beliau – sastra dan mitos lokal (kebangsaan) – ide-ide dan pemikiran pribadi * * * Hipotesis sederhana berusaha menemukan pada kondisi sosial Hijaz yang terbatas –jika bukan di Makkah- semua unsur-unsur penting untuk membangun dakwah berbasis al-Qur’an. Berdasarkan kacamata ini, Ernest Renan berusaha mengajukan kepada kita dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Muhammad dan Sumber Primer Islam” suatu percontohan yang unik seputar kehidupan bangsa Arab pra Islam pada ke-7 M. Selain bangsa kaum pagan yang sudah dikenal oleh dunia ini, dia memberikan kita bangsa lain yang tidak mengenal kecuali satu Tuhan (hal. 1070-1071). Dia juga menggambarkan masyarakat kita pada awal semangat keberagamaannya, di mana di sana bertemu semua agama, semua peradaban, di samping agama merupakan kesibukan utamanya (hal. 1089). Berdasarkan pada kondisi tersebut, risalah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari sekedar kelanjutan dari gerakan keagamaan yang berkembang pada zamannya, tanpa melampauinya dengan sesuatu yang dinggap baru (hal. 1089). Renan menampilkan rasa sastrawi yang tinggi yang dimiliki bangsa ini dan pandangan mereka yang bersifat realistis sekaligus melupakan semua karakteristik lain yang dianggap tidak penting. Tetapi gambaran kehidupan bangsa Arab yang sesungguhnya pada periode ini ditemukan dalam al-Qur’an sendiri. Sangat berbeda dengan kondisi tersebut sebagaimana kita lihat sebelumnya. Hidup mereka adalah kehidupan yang penuh kesesatan (QS Ali Imran: 164). Sementara era mereka adalah zaman Jahiliyah (QS al-Ahzab: 33 dan QS al-Fath: 26). Dalam tradisi mereka, mereka masih menjaga beberapa bekas-bekas tradisi yang berasal dari ajaran Ibrahim dan Ismail alaihimassalam seperti haji. Hanya saja, tradisi ibadah ini bercampur baur dengan beragam kesalahan dan mitos yang begitu banyak (QS al-Baqarah: 189 dan QS al-Baqarah: 200). Sebagaimana para masyarakat yang hadir di pasar Ukadz, mereka tidak berdebat seputar masalah agama, tetapi mereka lebih banyak berbangga-bangga terkait dengan masalah duniawi. Tidak ada sedikit pun pengaruh agama pada bulan festival sastra yang dikenal dengan “pajangan syair” era keemasan. Di tengah-tengah masyarakat manusia yang bertife jahiliah murni ini, ada sekelompok orang yang bisa dihitung dengan jari tampak unik, mereka dikenal dengan istilah “orang-orang lurus (hunafaa)” -kelompok yang menolak status quo- yaitu kelompok yang dijadikan oleh Renan untuk menggambarkan karakteristik masyarakat Arab pada masa itu. Lalu apa saja seruan kalangan “orang-orang lurus” tersebut?! Yakinlah, tidak ada sedikitpun! kecuali sikap menyempal mereka dari zaman mereka dan harapan untuk menemukan agama yang dianggap benar yang berusaha mereka cari di luar lingkungan sekitar mereka. Mereka sama sekali tidak memiliki latar belakang pemikiran yang tergolong detil yang bisa dijadikan prediksi akan datangnya seruan al-Qur’an, sekalipun itu untuk masa depan yang jauh. Kesimpulan yang bisa ditarik seputar keberadaan mereka adalah apa yang disimpulkan sendiri oleh Renan secara benar, yaitu adanya semacam kegalauan dan penantian yang serba tidak jelas (hal. 1090). Secara umum, sekalipun banyak orang yang meneriakkan kata-kata seperti Allah, gama, para nabi, kitab suci dan surga pada masa itu, tetapi kata-kata tersebut belum memiliki makna-makna khusus pada diri mereka yang mereka yakini dengan jelas dan unik. Sebenarnya ada yang lebih utama dibanding mereka itu, yaitu pembahasan seperti kalangan Shabi’in yang disebutkan dalam al-Qur’an إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah: 62) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحًا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Maidah: 69) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS al-Hajj: 17) Mereka adalah komunitas kaum pagan yang unik (kalangan shabi’i Harran yang menisbatkan diri mereka kepada Shabi bin Sats, yang mengklaim menyebarkan pendidikan agama ayahnya dan merasa memiliki kitab suci yang berbahasa Suryaniyah). Atau mereka adalah kelompok Yahudi-Masehi yang disebut Shabi’ah (dari kelompok Masehi Yohanna al-Ma’madani). Atau mereka adalah kelompok pertama yang mengklaim nama ini. Masalah ini memang masih diperdebatkan. Inti pemikiran Shabiin dan syi’ar keberagamaan mereka sudah terkenal dan telah dibabat habis oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Beberapa tradisi kelompok ini sudah tersebar di kalangan suku Quraisy hingga tahap yang susah untuk dipisahkan dari paganisme yang sedang berkembang. Seperti mempertuhankan malaikat, bintang-bintang dan pengaruh mereka kepada peristiwa di bumi ini. Bagian macan yang diambil dari qurban yang siap dipersembahkan kepada Tuhan yang lebih rendah kedudukannya, sebagai ganti dari persembahan untuk Allah, ungkapan berupa rintihan do’a dalam ibadah haji yang mengandung kesyirikan kepada Allah. Mereka juga memiliki syi’ar keagamaan lain dan tradisi yang jauh sekali dari dari tradisi paganisme dan tradisi Islam. Haji bagi mereka dilakukan di Harran, Iraq. Qurban mereka dibakar sepenuhnya. Mereka juga mengharamkan praktek poligami dan tidak melakukan khitan. Ibadah mereka semacam jampi-jampi yang diperuntukkan kepada bintang-bintang yang dilakukan 3x dalam sehari pada waktu terbitnya matahari, ketika tengah hari dan saat matahari terbenam. Demikianlah kita lihat bahwa paganisme yang berkembang di kota Hijaz tidak memberikan kepada kita penafsiran dan analisa yang tepat seputar sumber dan referensi al-Qur’an. Bisa jadi lingkungan Yahudi dan Masehi bisa memberikan kepada kita beberapa pencerahan seputar tema ini. Kita tidak perlu mengandalkan kisah sang rahib Bahira, yang menyebutkan bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam menemuainya ketika sedang berumur 12 tahun, saat menemani pamannya Abu Thalib dalam perjalanan bisnis ke wilayah Syam. Peristiwa tersebut bisa jadi hanya rekaan cerita masa lalu belaka atau memang kejadian yang dimaksud terbukti untuk mengambil semua peristiwa yang disebutkan. Pertemuan itu dihadiri oleh semua anggota kabilah. Di situ peran Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dianggap sebagai peran utama, bukan sekedar pendengar. Dengan berakhirnya pertanyaan sang pendeta kepadanya, ia menyimpulkan sebuah prediksi yang meyakini bahwa sang pemuda akan menjadi nabi di masa depan. Kebenaran mencegah kita menganggap pertemuan dadakan ini sebagai sumber dan referensi pendidikan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan pula bahwa ada beberapa orang dari kalangan Romawi atau orang-orang Etopia yang berkulit hitam yang menjual minuman kurma (nabidz) atau penjual yang tinggal di sekitar kota Makkah. Disebutkan pula, “Injil sudah diajarkan di toko-toko untuk orang-orang yang berpikiran polos”. Apakah pertemuan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan pemikiran keagamaan pada tempat-tempat yang disebutkan ini ?! Sekalipun demikian, mereka membiarkan kita dalam kebingungan dan ketidakjelasan. Mereka tidak memberikan kita fakta satupun terkait hubungan nyata dari sisi ini. Padahal kesibukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebelum diutus sebagai nabi sangat terkenal dan jelas; di lingkungan terbuka mengembala kambing. Dari bisnis ke bisnis sebagai musafir atau di tengah masyarakat secara umum bersama para petinggi kabilah. Belum lagi jika ditambahkan bahwa orang-orang tersebut tidak mengerti agama mereka sendiri dan bahasa mereka yang tehitung asing menjadi faktor penghalang secara pasti. Jika mereka itu merupakan sumber pengambilan yang tepat, tidakkah itu juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menolak untuk menghancurkan harapan-harapan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ?! Sebaiknya kita membicarakan lingkungan yang lebih luas dan lebih kaya dari sisi wawasan. Seperti diketahui bahwa lingkungan Gassan di Syam dan Bani Harits di Najran di wilayah Yaman mereka semua telah memeluk agama Kristen. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pun ketika masih muda dari waktu ke waktu bepergian ke sana untuk kepentingan bisnis ke wilayah Syam dan Yaman. Lalu kenapa sang musafir Arab ini –sesuai yang dikenal bahwa beliau pengamat ulung dan memiliki perhatian yang alami seputar masalah-masalah etika- tidak terpengaruh dengan pemikiran semua masyarakat tersebut?! Ini merupakan pandangan Golziher dan yang lain-lain. Mereka yakin bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam telah mendapatkan di situ angkatan pertama untuk sistem reformasinya….Apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam benar-benar masuk ke wilayah geografis Masehi/Kristen ?! Sebagian penulis meragukan hal ini karena tidak adanya sedikitpun isyarat dalam al-Qur’an terkait fenomena kaum Masehi luar (Syam dll), saat di mana al-Qur’an sendiri lebih banyak membahas kedalaman spiritual Masehi Timur yang berbeda dengan cara para penyair Arab yang telah mengunjungi negeri-negeri ini. Pada waktu bersamaan terdapat para penulis lain yang lebih dekat kepada fakta sebenarnya yang menegaskan bahwa perjalanan kafilah yang ditemani oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah jauh dari pasar Habasyah di Tihamah dan pasar Garrasy di Yaman. Bahkan sekalipun ada hubungan dengan kalangan agama Masehi secara nyata, lalu apa yang akan didapatkan oleh beliau?! J. Sal mengatakan, “Dunia Kristen sejak abad ke-3 sudah mengalami penghancuran bentuk karena ketamakan para pemangku agama dan pertentangan yang terjadi di internal mereka serta perdebatan terkait masalah-masalah sepele. Sementara para pemeluk Kristen sangat bersemangat untuk memenuhi syhawat mereka dan menggunakan semua bentuk kerusakan, kedengkian dan kekerasan hati. Mereka sampai batas sudah mengusir agama Kristen dari lingkup kehidupan. Pada zaman ini tampaklah dan kokohlah semua jenis khurafat dan kerusakan. Gereja pun ditemukan koyak dan berpecah belah setelah pertemuan Nicea karena faktor perpecahan. Adapun gereja-gereja Arab, pertentangan untuk mendapatkan kursi keuskupan di Roma antara kelompok umum (damaz) dan kelompok ortodoks, kembali menggunakan kekerasan dan pembunuhan. Meraja lelalah kebobrokan akhlak dan akidah antara para pemimpin dan para pemangku agama. Hal itu menyebabkan kerusakan bangsa sehingga kesibukan masyarakat yang paling prioritas adalah menumpuk harta dengan cara apa pun demi untuk bermewah-mewah dan prilaku busuk”. Tailor telah menulis dalam bukunya “Agama Kristen Lama” (Vol. 1, hal. 266) “Sungguh yang ditemukan Muhammad dan para pengikutnya pada semua arah, semuanya adalah khurafat yang mengerikan, paganisme rendahan dan murahan, keragaman mazhab gereja yang terpedaya, praktek ibadah yang kekanak-kanakan di mana orang-orang Arab yang cerdas merasa sebagai utusan dari sisi Allah, mereka ditugaskan untuk melakukan perbaikan pada hal-hal yang diketahui termasuk kerusakan”. Ketika Musyaim hendak mendeskripsikan zaman itu ia menampilkan pertentangan antara kalangan Kristen terdahulu dengan kaum Kristen belakangan. Ia menyimpulkan bahwa agama sesungguhnya pada abad ke-7 tertimbun di bawah sekumpulan khurafat dan mitos rendahan, sehingga tidak mampu mengangkat kepalanya. Seolah lembaran-lembaran ini ditulis sebagai penjelasan ayat : وَمِنَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُواْ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. (QS al-Maidah: 14) Apakah cara orang-orang Arab yang telah beragama Kristen lebih baik kondisinya? Tentu tidak….karena mereka menjaga tradisi paganisme dalam adat istiadat mereka. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa yang diambil oleh kaum Taglib dari kalangan Kristen tidak ada kecuali meminum minuman keras. Howart mengatakan, sejauh apa pun daya tarik pendapat yang mengatakan bahwa Muhammad terpengaruh dengan kondisi yang disaksikan berupa praktik keagamaan orang-orang Kristen di Suriah, “Tentu bisa dipastikan bahwa itu sangat jauh karena lemahnya data dan fakta sejarah yang valid”. Maka tidak diragukan bahwa materi-materi yang ditemui Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam sampai sekarang terkumpul pada sebuah bangunan yang pantas untuk dihancurkan. Tidak ada padanya yang pantas untuk digunakan demi mendirikan bangunan baru…..Mari kita perluas area pembahasan sedikit, ke dunia pendengaran dan lingkup buku dan penelitian. Bisa jadi muncul dalam benak pikiran bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam telah merangkum pelajarannya dari bacaannya secara langsung ke kitab-kitab suci, baik itu Masehi atau Yahudi atau yang lainnya.[1] Tetapi apakah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam pintar membaca dan menulis?! al-Qur’an menjawab tidak dan membuktikan keummiyan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam demi menunjukkan kerabbaniyahan ajarannya. Beliau berstatus ummiy dan berasal dari bangsa yang juga tidak mengenal tradisi tulis menulis.[2] Sebelumnya beliau tidak pernah membaca sebuah buku atau menulis sendiri dengan tangannya. وَمَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS al-Ankabut: 48) Tidak diragukan lagi bahwa para penentang Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mereka mengetahui keummiyahan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan baik, mereka mengatakan tentang Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam “أَسَاطِيرُ الأَوَّلِينَ “اكْتَتَبَهَا” فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang”. (QS al-Furqan: 5) Yakni, dituliskan oleh orang lain, mereka tidak mengatakan “menulisnya sendiri”. Makna ini terhitung membingungkan bagi kalangan orientalis. Bahkan, anggap saja beliau pintar tulis menulis tetap saja ada kendala yang mustahil ditundukkan, karena ketika itu belum ada kitab Taurat dan kitab Injil yang berbahasa Arab.[3] Keberadaan fakta dan data dalam beberapa bahasa asing menjadikannya hanya terbatas pada beberapa intelektual yang bisa berbahasa dengan lebih dari satu bahasa. Di mana, al-Qur’an mendekskripsikan mereka sebagai orang-orang bakhil dengan ilmu yang mereka miliki : وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (QS al-An’am: 91) Bagaimana pun, sejarah belum menjelaskan kepada kita seputar adanya hubungan yang spesifik. Selama pembicaraan masih berkisar pada pembahasan umum maka sulit untuk menentukan sebuah keputusan. Ketika kita minta pembatasan, terjadilah kontradiktif dan kebingungan. Jika saja Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam tidak memperoleh pemikiran keagamaanya, bukan dari Taurat dan bukan pula dari Injil secara langsung, dan bukan pula dari kalangan intelektual spesialis, apakah tidak mungkin beliau mendapatkannya dari beberapa kalangan penyair Arab baik kalangan Yahudi maupun kalangan Nasrani dan orang-orang seperti mereka?! Al-Qur’an menjelaskan bahawa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak akrab dengan syair secara umum. Bahkan, al-Qur’an menganggap bahwa syair adalah permainan yang tidak cocok dengan keperibadian beliau. Lalu kita bertanya-tanya seputar pendidikan yang mungkin dihasilkan dari jenis sastra seperti ini? Di sini kita menemukan dua kecenderungan dalam sastra Arab jahiliah : Pertama, bahwasanya beberapa penyair seperti al-A’syaa, perhatian utamanya berpusat pada deskripsi seputar adat istiadat dan praktek ibadah gereja, sesuatu yang tidak ada pengaruhnya terhadap al-Qur’an. Bahkan perhatian mereka lebih banyak kepada minuman keras, yang mana al-Qur’an mengarahkan serangan mematikannya kepada hal tersebut. Adapun syair jenis kedua, lebih spesifik dalam hal pemikiran keagamaan. Qasidah Umayyah bin Abi Shalt adalah contoh paling tepat untuk jenis ini. Terutama dalam mendiskripsikan kehidupan akhirat dan kisah agama-agama terdahulu hingga beberapa tempat mirip dengan ungkapan al-Qur’an. Hanya saja orisinilitas syair Umayyah tidak pasti validitasnya. Umayyah tidak mengklaim orisinilitas dan ilham. Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan Umayyah hidup sezaman bahkan ada kedekatan dari sisi umur. Belum lagi ditambahkan bahwa Umayyah hidup dan terus memproduksi syair sekitar lebih delapan tahun setelah turunnya ayat terakhir surat Makkiyah. Sungguh termasuk berlebihan jika kita mengatakan bahwa syair ini lebih dahulu dibanding al-Qur’an dari sisi sejarah. Kita harus mempertimbangkan sikap musuh-musuh nabi yang selalu mawas diri untuk mencari celah agar bisa melancarkan serangan mereka. Jika demikian adanya, tentu sangat mudah bagi mereka untuk mencuri syair-syair Umayyah yang belum kering tintanya, daripada mereka mengarahkan tuduhan-tuduhan pada semua sisi hingga sampai kepada kesimpulan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam gila demi untuk menjelaskan fenomena al-Qur’an yang begitu menakjubkan. Dari sini kita menyimpulkan –sekalipun tanpa penegasan, minimal dengan kemungkinan besar- bahwasanya al-Qur’an merupakan dasar produksi sastra pada era turunnya, sebagaimana al-Qur’an pula yang menjadi basisnya pada era-era berikutnya. Kritik terhadap syair-syair Umayyah secara spesifik menegaskan bahwa kembali kepada sumber yang beragam. Ini yang diperhatikan oleh Howart. Ketika sang penyair ini mendeskripsikan neraka, ia mengikuti dan mencontoh Taurat. Ketika menjelaskan seputar surga maka ia menggunakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Dalam kisah-kisah sejarah agama, ia merujuk kepada cerita-cerita rekaan yang berkategori lokal. Sekarang tinggallah di hadapan kita tahapan terakhir dari sisi pemilihan referensi alami eksternal untuk al-Qur’an, yaitu pemikiran lokal yang bernuansa kebangsaan. Tentu tidak bisa diterima secara rasio klaim bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam hidup menyendiri secara total sehingga ia termasuk orang paling bodoh seputar bangsanya pada titik ini. Tampak melalui al-Qur’an bahwasanya bangsanya sudah memiliki beberapa wawasan tersendiri seputar agama-agama terdahulu, sehingga mereka kadang meminta kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam agar mendatangkan بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الأَوَّلُونَ kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana rasul-rasul yang telah lalu di-utus”. (QS al-Anbiyaa: 5) mereka berdalih dalam penolakannya dengan apa yang telah mereka dengarkan : مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الآخِرَةِ Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; (QS Shad: 7) Mereka membandingkan antara agama Isa dengan akidah kaum pagan….dst. Tetapi ada banyak sebab yang menghalangi kita sehingga kita tidak memperluas imajinasi kita dalam masalah ini. Karena hal yang perlu diperhatikan bahwa perhatian –bahkan dari sisi orang-orang yang mengadakan perjalanan dan belajar- hanya terbatas pada aspek lain yang tidak terkait dengan persoalan agama. Belum lagi jika ditambah dengan diamnya sejarah dari level praktis untuk pengetahuan yang sudah terdaftar yang dimiliki oleh bangsa buta huruf dan lalai ini. Pada realitasnya bahwa persfektif bangsa ini terhadap level keilmuan yang membuat mereka memiliki keahlian sehingga bisa berperan serta dalam dunia keilmuan yang pengetahuannya hanya terbatas pada beberapa kalangan intelektual yang terbatas pada saat itu, dianggap sebagai pemikiran yang aneh yang tidak searah dengan fakta yang sudah ditegaskan. Belum pernah ada dalam fase sejarah mana pun –bagi suatu bangsa yang lebih tinggi peradaban dan pengetahuannya- kita menemukan adanya keterkaitan antara yang jahil dengan sang alim spesialis. Al-Qur’an tidak selalu diam dari semangat pengajarannya terhadap bangsa Arab, termasuk di dalamnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, apalagi dianggap tidak mengetahui seputar hal tersebut sebelum turunnya wahyu kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam : ذَلِكَ مِنْ أَنبَاء الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيكَ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُون أَقْلاَمَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS Ali Imran: 44) تِلْكَ مِنْ أَنبَاء الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنتَ تَعْلَمُهَا أَنتَ وَلاَ قَوْمُكَ مِن قَبْلِ هَـذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Hud: 49) نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَـذَا الْقُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (QS Yusuf: 3) ذَلِكَ مِنْ أَنبَاء الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُواْ أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya. (QS Yusuf: 102) Jika saja hal ini berbeda, lalu apa yang bisa diharapkan dari musuh-musuh Islam?! Melihat bahwa pemikiran yang berkembang pada masyarakat ini tidak hanya satu arah, bahkan setiap komunitas kaum pagan, shabi’in, pemangku agama, orang-orang Persia, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen mereka semua memiliki cara tersendiri dalam memaparkan kebenaran versi mereka. Lalu kepada kelompok mana seharusnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan kepercayaannya?! Lalu seruan yang mana di antara sekian banyak pandangan yang saling bertentangan ini yang pantas dijadikan sandaran argumen?! Apakah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam semudah itu percaya kepada pengetahuan masyarakat, padahal beliaulah yang banyak menantang pengetahuan yang disampaikan kalangan intelektual?! Anggaplah beliau semangat menyampaikan akidah setiap kelompok, setiap mazhab dan cabang dari masing-masing mazhab yang terhitung semasa dengan beliau, lalu percampuradukan yang dikhawatirkan yang mana yang kita temukan dalam al-Qur’an: وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS an-Nisaa: 82) Di sini, kita makin merasa penting memasukkan faktor baru yaitu faktor pribadi. Bisa jadi ada yang mengira bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dalam masa-masa berkhalwatnya di gua Hira sebelum turunnya wahyu, atau saat beliau menyendiri ketika beliau mengembala kambing, beliau sudah mulai berusaha dalam perenungannya yang mendalam demi mencari kebenaran pada tema-tema tertentu atau tema lain. Lalu setelah era pencarian itu beliau lalu memilih dan menetapkan kesimpulan. Di sini kita harus membedakan dua bidang dalam sektor pendidikan manusia yaitu pengetahuan terkait peristiwa yang real terjadi dan pengetahuan rasional. Sejarah manusia tidaklah tunduk pada logika berpikir kita karena ia bisa jadi mengandung peristiwa yang bertentangan dengan hal-hal yang tidak bisa diterima oleh akal. Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa dengan dirinya sendiri untuk menemukan suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada fase sejarah tertentu pada waktu yang sudah lama. Karena itulah fokus utama upaya diarahkan kepada perbandingan antara kisah-kisah keagamaan yang ada dalam al-Qur’an dan kisah-kisah keagamaan yang ada dalam kitab-kitab yang diwahyukan sebelumnya agar bisa sampai kepada faktor yang menghasilkan kesesuaian yang penuh sisi-sisi menakjubkan. Bisa jadi perenungan rasional memiliki nilai yang besar dalam hal menyingkap suatu kebenaran yang kekal. Lalu sejauh mana batasan akal yang jernih dalam materi agama?! Tentunya sempit, tanpa perlu diragukan lagi. Karena akal tidak bisa menegaskan kesesatan kaum pagan, khurafat, kekosongan dan ketidakmanfaatannya. Hanya saja, kapan ia menghilangkan itu semua dengan caranya, lalu apa yang ia harus bangun sebagai pengganti darinya?! Tidak ada seruan atau mazhab atau teori yang bisa dibangun di atas fakta yang negatif (salbiyah). Yang lebih kokoh adalah bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam mendapati dirinya pada suatu kondisi yang digambarkan al-Qur’an kepada kita berupa kesedihan seolah beliau merintih di bawah sebuah beban berat : أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ * وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ * الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? (QS al-Insyirah: 1-3) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى Allah mendapatimu dalam keadaan tersesat lalu memberimu petunjuk (QS ad-Dhuha: 7) Anggaplah melewati tahapan pertama ini lebih cepat, karena mengenal Allah bukanlah totalitas pengetahuan agama yang ada di dalam al-Qur’an. Dan jalan yang menyampaikan kepada pengetahuan seputar al-Qur’an terhitung jauh dan berat kalau tidak dikatakan tertutup bagi akal manusia yang mengandalkan kemampuannya yang terbatas. Lalu ilham yang mana yang memungkinkan Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam bisa menemukan sifat-sifat Allah yang beragam, nama-nama Allah yang indah (al-asmaa al-husnaa), hubungan Allah dengan alam yang tampak dan alam yang tidak tampak (ghaib) dan tempat kembali manusia setelah meninggal (akhirat), tanpa ia pernah merubah satu pun keyakinan yang telah ia ajarkan, dengan senantiasa menjaga kesesuaiannya yang sangat menakjubkan -pada waktu yang sama- dengan kebenaran kitab-kitab samawi sebelumnya dan beberapa ajaran dengan perhatian di bawah tangan kalangan intelektual ?! Tidak diragukan bahwa akal, secerdas apapun tidak akan mampu melangkah sekalipun hanya selangkah dalam jalur ini dengan tingkat kepercayaan dan tingkat kejelasan tanpa adanya bantuan dan sentuhan dari pendidikan positif yang berada di luar jangkauan manusia (Allah). Al-Qur’an pun mengokohkan hal ini dan menegaskan bahwa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui sebelum turunnya wahyu kepadanya : ما الكتاب ولا الإيمان apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, (QS asy-Syuraa: 52) apalagi seputar bangunan syari’at dengan beragam fenomenanya, baik yang berkategori akhlak maupun yang bernuansa sosial dan peribadatan. Lalu apakah beliau mampu memberikan petunjuk ke pihak lain, sementara beliau sendiri tidak mengetahui semua hal tersebut?! * * * [1] Doktor S. Tesdal mengklaim bahwa beberapa prinsip Islam diambil dari Zaradistah [2] Lobelo berusaha mengikuti orang lain dari kalangan para penulis untuk membuktikan fakta sebaliknya dengan mengandalkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Rasulullah, ketika itu sedang berbaring di atas tempat tidur kematiannya, beliau meminta alat tulis. [3] Doktor Grap menegaskan bahwa tidak ada kebutuhan kepada Injil yang berbahasa Arab kecuali pada abad ke-9 dan abad ke-10. Berkata pendeta Syedyak bahwa belum memungkinkan untuk merujuk sejarah perjanjian lama yang jauh lebih lama dari abad ke-11. Terjemahan Kitab Akidahalquranilmupengetahuan