NILAI ESTETIKA DAN ASPEK SASTRAWI AL-QUR’AN Idrus Abidin, 30 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber: Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis: Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah: Idrus Abidin. Pada kedalaman jiwa manusia –seperti yang sudah kami sebutkan- terdapat indera batin (bashirah internal) yang bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, kebaikan dan keburukan, sekalipun berbeda bentuknya, dengan syarat manusia melihatnya dengan jelas dan dengan pikiran jernih (objektif). Akal yang cerdas dan jiwa yang memiliki kesiapan tidak membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu demi untuk menerima ajakan baru selama terpenuhi kedua syarat ini. Yaitu pengajaran seputar kebenaran hakiki dan ajakan menuju kemuliaan. Demikianlah Heraklius –raja[1] romawi sekalipun buta dengan bahasa Arab- berusaha menentukan kebenaran risalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan mengandalkan standar dan kriteria etika yang diyakininya sangat prinsipil dan cukup untuk menegaskan sisi ketuhanan dari misi kenabian ini. Hanya saja, tidak demikian adanya bagi banyak kalangan masyarakat. Hal yang paling banyak menarik perhatian mereka adalah aspek luar dibanding keistimewaan kandungan internal. Sesuatu yang baru tapi dikemas dengan penampilan buruk dan tidak memiliki daya tarik membuat mereka menjauh karena mereka begitu tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu sesuai dengan tampilan fisik sebelum mengecek inti dan hakikat sesungguhnya. Di sinilah kita melihat nilai plus yang diberikan oleh sastra kepada ilmu dan hikmah manakala keduanya berusaha menampakkan kebenaran dan keutamaan. Dakwah Islam unggul dari sisi sastrawi dengan kesempurnaan yang tidak bisa tertutupi oleh apapun. Dengan tampilan fisik dan tampilan internalnya, ia mampu memenuhi selera dan kebutuhan orang-orang yang mengerti bahasa Arab. Al-Qur’an –sang pembawa risalah ini- dulu dan sekarang akan senantiasa tampil sebagai percontohan yang tak tertandingi dalam lingkup sastra Arab. Jika kita melihat dengan jernih kepada karakterstiknya secara sastrawi kita bisa mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan contoh paling ideal pada aspek yang disebut sastra secara umum. Pada masa keemasan bahasa Arab, tidaklah wahyu turun kecuali semangat untuk berpuisi dan berprosa sangat tinggi. Kemudian 7 pajangan (yang berisi syair-syair unggulan) diturunkan dari pintu Ka’bah, sehingga telinga masyarakat lebih fokus kepada mukjizat baru dalam lingkup bahasa Arab ini (al-Qur’an). Bahasa al-Qur’an merupakan materi audio yang jauh dari nada-nada lembut bahasa penduduk perkotaan dan kerasnya bahasa penduduk pedalaman. Menyatu -dengan sangat akurat- antara kelembutan bahasa penduduk perkotaan dan kelancaran bahasa penduduk pedalaman. Maka terwujudlah daya tarik yang mencengangkan itu karena adanya kesatuan irama yang indah antara keduanya. Ia merupakan rangkaian dari potongan kata-kata dengan sistem yang sangat serasi melebihi prosa namun kurang sistematis jika dibandingkan dengan syair. Beragam dalam satu ayat demi untuk menarik semangat pendengar, namun sangat selaras pada setiap akhir ayat sehingga terdengar seperti sajak supaya tidak merusak nada secara umum pada setiap pemberhentian yang ada di antara setiap surat. Adapun kosa katanya, semuanya terambil dari kata-kata yang umum digunakan oleh masyarakat tanpa mengurangi kualitasnya. Namun terseleksi dari kata-kata yang bernilai tinggi, yang tidak bisa dinggap sebagai kata-kata asing, kecuali pada beberapa kata. Ia memiliki keunikan dari sisi ringkasnya kalimat dengan fokus pada makna dan kejelasan yang sangat menarik. Disertai dengan kedalaman, fleksibilitas, isyarat dan pencerahan pada semua sisi, layaknya seperti potongan emas yang sangat berkilauan. Adalah sebuah fakta tegas bahwa umumnya manusia dengan beragam perbedaan mereka dari intelektual dan pemikiran, berupaya memahami al-Qur’an. Seolah setiap ungkapan yang tekandung di dalamnya terjelaskan sesuai kadar dan kapasitas berpikir mereka. Semua itu berlangsung pada tema-tema yang tidak terbahas pada sastra Arab jahiliyah. Di mana, kita bisa menegaskan dari sisi kebahasaan secara murni, bahwasanya munculnya al-Qur’an merupakan era baru bagi bahasa dan ungkapan Arab. Adapun fenomena bahwasanya al-Qur’an benar-benar melampaui kemampuan manusia pada sisi daya ungkap (uslub), karena ia tidak mengikuti mekanisme jiwa, yang mana, berdasarkan tuntunannya kita melihat rasio dan perasaan tidak bekerja kecuali dengan cara bergantian dan dengan presentasi sebaliknya. Sementara kita tidak melihat hal itu dalam al-Qur’an kecuali berkolaborasi sepenuhnya pada semua pembahasan. Sementara kita melihat bahwa kata-kata dalam al-Qur’an berusaha sekuat tenaga sekaligus dalam waktu bersamaan menyatukan antara pengajaran, pemuasan dan efek serta pengaruh yang maskimal. Memberikan hati dan akal bagiannya masing-masing yang memang sangat diharapkan. Belum lagi tampilan ucapan yang senantiasa tampak menawan, sangat menakjubkan, dengan pesona yang kuat, tidak kacau dan tidak semerawut. Orang-orang Arab asli yang mengalir di dalam darahnya kefasihan bahasa, sangat mengetahui dengan fitrah dan kecerdasannya dan merasakan bahwa al-Qur’an memang betul-betul berasal dari langit, yang langsung menembus jiwa dan membelalakkan mata. Bahkan, orang-orang kafir sendiri mengetahui pengaruh besar ini pada zaman Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, mereka berbeda pendapat mengenai alasan dan penjelasan yang sesuai dengan tingkat daya tarik dan pengaruh tersebut. Sampai-sampai mereka menganggapnya sebagai sihir. Karena kita memperhatikan seketika itu seolah al-Qur’an merupakan model unik yang tidak keluar dari ungkapan jiwa siapa pun dan tidak lain kecuali merupakan tiupan ketuhanan. Sedangkan ucapan-ucapan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sudah dikenal dengan nilai ekstetika sastrawinya yang begitu agung. Hanya saja, teks-teks al-Qur’an berbeda dengan ucapan rasul dengan perbedaan karakterisitk yang sangat unik. Perlu kita fokuskan bahwa beberapa upaya pada pasal ini menjadi titik yang betul-betul di luar perhatian semua kalangan orientalis dan luput dari banyak kalangan kaum muslimin. Yaitu metode al-Qur’an dalam menyelesaikan banyak permasalahan hanya dalam satu surat saja. Beberapa kalangan orientalis melihat dengan pandangan sempit akan hal ini. Mereka mengira tidakadanya keserasian dan keterkaitan sacara alami antara isu-isu yang dibahas oleh sebuah surat. Bahkan lebih buruk dari itu, mereka tidak melihat al-Qur’an secara keseluruhan kecuali berisi hanya beberapa pembahasan yang tampak tidak runtut dan metode pembahasannya yang tidak teratur serta tanpa ada hubungan logis yang mengikatnya. Sedangkan sebagian lain melihat alasan di balik ketidakruntutan tersebut karena adanya kebutuhan untuk meringankan agama yang lahir dari metode penuturan yang sangat terstruktur, dan kesedihan yang lahir dari pengulangan nada yang bertentangan dengan idealisme dalam metode ungkap (uslub) bahasa Arab. Ada lagi kelompok ketiga yang melihat pada kesatuan sastrawi setiap surat adanya semacam penggantian terhadap kekurangan yang sangat mendasar ini dalam sisi kesatuan makna. Sementara kelompok lain yang menjadi kumpulan terbanyak kalangan orientalis melihat –dengan berusaha membebaskan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dari berbagai tuduhan rendahan- bahwa kekurangan ini kembali kepada kalangan sahabat yang bertindak mengkodifikasi al-Qur’an sekaligus mencampuradukkannya ketika mereka berusaha menggabung bagian-bagiannya demi untuk menstrukturnya dalam bentuk surat. Padahal sebenarnya, semua bentuk penafsiran dan analisa seperti ini semuanya tidak pantas diterima, karena as-Sunnah yang suci dan hadits-hadits yang valid sepakat bahwa surat-surat yang ada sekarang sudah sesuai dengan bentuk, susunan, dan pola yang kita baca hari ini dari sejak kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Ketika kita ingin menilai sisi-sisi keindahan sebuah lukisan yang dipajang, kita tidak boleh hanya fokus pada bagian tertentu saja. Tetapi kita harus mundur ke belakang sedikit sehingga objek pandangan bisa meluas sehingga kita bisa melihat secara utuh. Dengan cara pandang seperti itu seharusnya kita mempelajari setiap surat untuk menilai semua sisi yang sesungguhnya. Ketika mengajar di universitas al-Azhar dulu, kami sudah memperaktekkan cara ini dalam mempelajari salah satu surat Madaniyah (yaitu surat al-Baqarah) dan dua surat lain yang berkategori Makkiyah (surat Yunus dan surat Hud). Kesemuanya itu dulu termasuk dalam silabus materi kuliah. Lalu secara realitas, ternyata kami mendapati banyak hal lain selain yang dibutuhkan oleh penelitian kami. Semakin jelas bagi kami dengan fakta yang semakin membuat kami kagum bahwa surat-surat ini memiliki pola struktur yang sungguh sangat jelas dan sangat definitif yang terdiri dari pengantar umum, pembahasan utama dan penutup. Jika kita menjadikan sejarah yang tidak terbatas sebagai landasan dan tahapan yang tak terhingga terkait turunnya ayat, sekaligus perhatian kita bahwa turunnya wahyu secara umum sangat terkait dengan kondisi dan keadaan tertentu, semua itu mengarahkan kita untuk bertanya-tanya saat di mana upaya penyusunan setiap surat itu selesai dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan mandiri. Pertanyaan ini membuat kita semakin bingung. Sama saja kita menganggap bahwa penyusunan ini terjadi sebelum sempurnanya wahyu diturunkan atau setelah selesai penurunan wahyu secara utuh. Tentu kemungkinan yang patut diduga (hipotesis) adalah mengikuti apakah susunan berdasarkan pada sejarah turunnya al-Qur’an atau sesuai dengan susunan yang bersifat logis yang sederhana berdasarkan pada kedekatan pembahasan. Hanya saja, yang kita perhatikan adalah bahwasanya surat-surat al-Qur’an, pembahasannya sangat beragam dan tidak mengikuti salah satu dari dua pola (hipotesis) yang disebutkan sebelumnya. Hal inilah yang membuat kami lebih memilih pendapat yang menyatakan adanya perencanaan atau pola yang sangat rumit yang sudah dibuat di masa lalu sebelum al-Qur’an itu sendiri turun. Akan tetapi, dengan segera kita berpaling dari hipotesis seperti ini karena adanya kemustahilan yang terkandung di dalamnya berupa pandangan adanya pola atau struktur terdahulu sedemikian rupa yang menjadi alasan penyusunan antara masing-masing pragraf yang diharapkan tersampaikan dalam rentan waktu 23 tahun, sesuai dengan beberapa momentum, kondisi, keadaan yang menuntut keberadaan pembicaraan tersebut. Yang mana, tidak mungkin diprediksi waktu kejadian dan peristiwa yang akan terjadi. Hanya saja as-Sunnah mendukung hipotesis unik seperti ini dan mengokohkannya. Sungguh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, setelah menerima wahyu tertentu, beliau menyuruh meletakkan setiap bagiannya, baik kecil atau besar pada surat-surat yang belum utuh sepenuhnya, pada tempat tertentu pada posisi nomor tertentu dari lingkup ayat-ayatnya, pada sebuah pola yang tidak selalu berdasarkan pada urutan turunnya. Hanya dengan menempatkan ayat pada tempat ini atau tempat itu, maka itulah yang terpakai selamanya. Tidak pernah ada perubahan, perbaikan dan penyesuaian kembali setelahnya. Dari sini kita katakan, bahwa pasti ada sebuah pola dan struktur tertentu pada setiap surat, apalagi pola dan struktur tertentu yang bersifat umum untuk al-Qur’an secara global, yang berdasarkan tuntunannya setiap wahyu yang baru diletakkan pada posisinya di antara surat-surat yang ada atau surat-surat lain yang masih terbuka. Seolah ayat-ayat al-Qur’an merupakan bagian tersendiri dan sesuai dengan nomor-nomor tertentu pada sebuah struktur di suatu tempat, yang hendak ditata ulang di tempat lain sesuai dengan bentuk dan kerangka yang ada sebelumnya. Jika tidak demikian, lalu bagaiman kita bisa menjelaskan susunan cepat dan sistematis pada waktu bersamaan, terkait dengan banyak surat jika seandainya lembaran-lembaran yang masih berproses dan lembaran-lembaran yang telah final penyusunannya ini mewakili sebuah kesatuan menyeluruh dalam pandangan sang penulis ?! Ada lagi pola dan sturktur lain yang bernuansa daya ungkap (uslub), yang berdasarkan tuntunannya kita perhatikan bahwa bagian-bagian yang akan berdampingan telah disiapkan sebelumnya dengan cara tertentu di mana antara satu dan lainnya saling berpasangan tanpa adanya kekosongan atau tabrakan. Tentu saja metode al-Qur’an seperti ini tidak ada bandingannya secara mutlak. Tidak mungkin bagi kitab apapun dalam dunia sastra atau pada bidang lain yang selesai penyusunannya sesuai dengan model unik ini atau pada kondisi yang serba mengagumkan ini. Dengan kata lain, jika saja kesemerawutan pada sistem logika atau pada kesalahan bahasa dan sastra merupakan hasil otomatis bagi proyek ini seandainya dilakukan oleh seseorang dengan kandungannya yang sangat ruwet yang membingungkan dan dengan sejumlah kesulitan yang ada, maka tidakkah pantas kita menyimpulkan bahwa kesempurnaan struktur dan pola ini dengan perwujudannya dengan bentuk yang diharapkan, tidak bisa tidak kecuali menuntut adanya keterlibatan otoritas hebat yang memiliki kemampuan tinggi untuk mewujudkan keserasian yang sangat bernilai mukjizat ini ?! Kalau tidak, lalu makhluk siapakah gerangan yang mampu mengarahkan peristiwa yang sesuai persis dengan struktur dan pola yang sudah digariskan ini?! Jadi, surat-surat al-Qur’an adalah hasil dari kondisi ini, yang membentuk kesatuannya secara logis dan kebahasaan, dalam pandangan kita merupakan mukjizat yang melampaui semua jenis mukjizat. Keberadaan kesatuan dualistik ini sudah ditegaskan oleh banyak spesialis pada bidang ini. Di antara mereka adalah Abu Bakar an-Naisaburi, Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Burhanuddin al-Biqa’i dan Abu Ishak asy-Syatibi. Untuk me-riview hal ini pada beberapa surat pilihan dalam al-Qur’an, kami mengarahkan kepada karya kami “an-Naba’ al-Azhim”. Sungguh kekaguman kami mencapai puncaknya setelah kami mengetahui bahwa bagian-bagian terpisah-pisah dari ayat-ayat al-Qur’an ini, dalam penurunannya mengikuti model struktur dan pola lain yang berbeda 100 % dengan pola dan struktur yang telah kami bahas pada lembaran-lembaran sebelumnya. Tidak ada jalan lain bagi kami kecuali menampilkan dari awal hingga akhir, tahapan secara berkala untuk struktur dan pola ke-2 ini selama 23 tahun : dari tahap kenabian ke tahap kerasulan (dari “Iqra” yang terdapat pada surat al-Alaq ke “Qum fa’anzir” pada surat al-Muddatsir). Dari fase dakwah tertutup (sirriyah) ke fase dakwah terang-terangan (jahriyah) فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS al-Hijr: 94) Dan dari dakwah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kepada keluarga dekatnya وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ Berilah peringatan kepada kerabat dekatmu (QS asy-Syu’araa: 214) hingga dakwah beliau untuk seluruh penduduk Makkah. وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ، Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. (QS al-Qasas: 59) Lalu desa-desa sekitarnya. وَلِتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا Agar engkau memberikan peringatan kepada penduduk kota Makkad dan penduduk wilayah sekitarnya (QS al-An’am: 92) Lalu semua manusia secara menyeluruh. وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ Tidaklah kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiyaa: 107) Dari sejak mengokohkan pilar-pilar utama Islam (pada surat-surat Makkiyah) menuju perwujudan secara praktis (pada surat-surat Madaniyah). Dari sejak fase kemarahan Allah karena seseorang menenggak minuman keras يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS al-Baqarah: 219) hingga tahap pengharaman secara total يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS al-Maidah: 90) Dari fase dakwah hingga fase kesabaran dan upaya menerima segala bentuk penyiksaan أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” (QS an-Nisaa: 77) hingga tahap pembelaan diri dengan senjata. وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Baqarah: 190) Cukuplah kami sebutkan di sini dua sejarah karena sangat urgen. Pertama, sejarah pergerakan dakwah : hari saat di gua hira sejak Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu pertama الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS al-Alaq: 4-5) Bahwa beliau akan ditugaskan dengan sebuah tugas yang berat. إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا sungguh kami akan memberimu ucapan yang berat (QS al-Muzzammil: 5) dan sejarah ke-2 : yaitu pada saat haji wada’ ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan bahwa risalahnya sudah berakhir dan tugasnya di bumi ini sudah selesai الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS al-Maidah: 3) setelah itu, tidak lama kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kembali ke haribaan Tuhan Sungguh pekembangan ini sangat sesuai dengan rencana pendidikan syariat yang sudah ditetapkan pada masa sebelumnya, baik secara global maupun secara lebih detil sesuai dengan pengetahuan Allah, Zat yang menurunkan wahyu. Jika saja ayat-ayat ini sendiri yang turunnya secara bertahap mengikuti pola rencana pendidikan yang terhitung istimewa, berubah -dengan turunnya berdasarkan pada urutan sejarahnya sehingga terbagi dan terhimpun dalam bentuk berbeda dengan format dan bingkai tertentu, berbeda panjang masing-masing suratnya, sehingga tampak dari pembagian yang disengaja ini- menjadi sebuah kitab yang dibaca, terdiri dari beberapa unit yang sudah sempurna, yang mana, masing-masing memiliki sistem tersendiri dari sisi sastrawi dan aspek logis, yang tidak kurang nilai ekstetiknya dari sistem pendidikan secara umum, maka inilah yang dimaksud pola dualistis yang tidak mungkin keluar dari jiwa manusia, siapa pun itu…… * * * [1]Lihat : Shahih Bukhari, kitab al-Jihad, bab 101. Lihat pula : B. San Helyer dalam bukunya “Muhammad dan al-Qur’an”, hal. 150-156 Terjemahan Kitab Akidahalquranestetikailmusastrawi