Konsep “الثقافة”/“Ats Tsaqafah” (Budaya) Fahmi Zakariya, 3 September 20231 Mei 2024 Penulis : Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar. Sumber : Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah. Alih Bahasa : Ust. Fahmi Ridho Pengertian “ثقافة”/“Tsaqafah” (Budaya) Sebagai Kata Tunggal dan Sebagai Frasa. Dewasa ini, istilah “ثقافة”/“Tsaqafah” (wawasan/budaya) sering digunakan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang hadits, karya tulis, serta dalam ceramah, maupun seminar. Misalnya, menyebut bahwa “si fulan “مثقف” (berwawasan)”, “si fulan “غير مثقف” (tidak berwawasan)”, “ si fulan “ثقافته واسعة” (berwawasan luas)”, dan “si fulan “ثقافته ضحلة” (berwawasan sempit atau dangkal)”. Atau dengan penggunaan istilah, “ثقافة الغرب”/“budaya Barat”, “ثقافة إسلامية”/“budaya Islami”, dan “ثقافة فرنسية”/“budaya Prancis”. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “budaya”? Untuk menjawab hal itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Belum ada pengertian definitif yang disepakati untuk menjelaskan istilah “Tsaqafah”. Meskipun istilah “tsaqafah” tersebut dalam berbagai bidang, sudah sering menjadi objek bahasan, baik dalam konferensi, maupun dalam kajian dan karya-karya ilmiah. Dalam salah satu konferensi dunia UNESCO membahas tentang “Cultural Policies” (Kebijakan Budaya), yang berlangsung di Meksiko dari tanggal 26 Juli hingga 6 Agustus 1982, dihadiri oleh 129 perwakilan dari berbagai Negara. Para peserta menyimpulkan bahwa istilah “Cultur” atau “Tsaqafah” (budaya) tersebut masih samar dan belum memiliki pengertian defenitif. Padahal, konsep “budaya” ini secara nyata telah melebar melalui beberapa diskusi yang sudah berlangsung sejak konferensi dunia pertama terselenggara di Venesia pada tahun 1970. Beberapa defenisi “ثقافة” (budaya) yang dikemukakan melalui beberapa diskusi tersebut, tidak lepas dari ruang lingkup dua konsep yang berbeda; Pertama: konsep umum dalam perspektif “antropologi budaya.” Pengertian ini mencakup seluruh aspek yang dikaitkan oleh manusia dengan lingkungannya, terdiri dari segenap cara berpikir, berprilaku, seni dan gaya hidup, serta ungkapan mengenai nilai-nilai, harkat dan martabat kemanusiaan. Kedua: konsep khusus atau sempit, hingga sebagian pihak menggambarkannya sebagai “budaya suatu budaya”. Oleh karena itu, pihak komite menegaskan agar konsentrasi lebih diarahkan secara maksimal kepada penelitian, dan pendalaman konsep agar memungkinkan untuk merefleksikan konsep budaya tersebut.[1] Ketidakjelasan defenisi “tsaqafah” (budaya), membuat para peneliti dan penulis tentang “budaya” tidak memiliki arah spesifik, serta tidak memiliki bahasan dan pemikiran yang jelas. Oleh sebab itu, sudah seyogianya jika kita meluangkan perhatian sejenak untuk membahas dan menetapkan defenisi dan konsep “tsaqafah” (budaya) tersebut. Menurut hemat penulis, harus dibedakan antara istilah “tsaqafah” (budaya) sebagai kata tunggal mutlak, dengan istilah “tsaqafah” dalam bentuk frasa “tsaqafah al–ummah” (kebudayaan ummat). Pengertian “Tsaqafah” Sebagai Kata Tunggal Istilah “tsaqafah” ketika digunakan sebagai kata tunggal, memiliki arti berupa mempelajari tiap disiplin ilmu dari satu sisi, bukan mempelajari suatu disiplin ilmu secara mendalam, sebagaimana ungkapan yang mengatakan, “pelajari sesuatu dari segala hal agar kamu berwawasan. Dan, pelajari segala hal dari sesuatu agar kamu berilmu.”[2] Manakala kita melihat makna “tsaqafah” dalam kamus bahasa Arab, terdapat kesingkronan antara makna kamus dengan makna tersebut di atas. Dimana seseorang tidak akan dapat memiliki pengetahuan luas dari berbagai disiplin ilmu, kecuali jika ia cerdas dan memiliki daya tangkap yang baik. Kedua hal itulah yang menjadi pengertian dari entri “ثقف” dalam bahasa Arab. Misalnya, mereka mengatakan, “ثقف الشيء ثقفا” (ia memahaminya dengan baik), “رجل ثقف-وثقف” (seorang yang cerdas dan bagus daya tangkapnya), “رجل ثقف لقف” (seorang yang “tsaqifun laqifun”) terhadap orang yang betul-betul hafal kandungan suatu ilmu dan mampu mengimplementasikannya. Sama halnya ketika mereka mengatakan, “هو غلام ثقف” (ia anak yang “tsaqifun”) yaitu anak yang cerdas lagi pandai. Dengan kata lain, anak itu memiliki ingatan dan pengetahuan yang kuat terhadap apa yang ia perlukan. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Hakim binti Abdul Muththalib bahwa ia berkata, “إني حصان فما أكلم، وثقاف فما أعلم” “Sungguh aku wanita terjaga, tidak layak asal diajak bicara. Dan, aku wanita berwawasan; tidak butuh diajari” [3] (Ungkapan ini ditujukan kepada Ummu Jamil sebagai balasan atas apa yang ia ucapkan kepada Nabi –sallallahu alaihi wasallam-, pen.) Orang Arab berkata, “ثقفه، أدركه ببصره” (ia mengetahuinya dengan penglihatan) karena ketajaman penglihatannya. Kemudian (kata “tsaqifa” tersebut) berevolusi menjadi “sekedar mengetahui.” Maka pengetahuan seseorang terhadap berbagai ilmu, masuk dalam ranah makna tersebut, karena ia mengetahui berbagai disiplin ilmu. Para cendekiawan muslim telah menyadari betapa pentingnya merumuskan suatu ilmu yang dapat memberi bacaan mumpuni kepada segenap pembaca dalam berbagai disiplin Ilmu. Mereka pun telah merumuskan suatu ilmu khusus dalam bidang ini, yaitu “Ilmu al-Adab” (Ilmu Sastra). Jika kita membaca beberapa karya tulis dalam bidang ini, seperti kitab “Shubhu al–A`sya” karya al-Qalqasyandi, dan “Nihayatu al–Arbi”, lalu menyelami materi-materi yang tersaji di setiap lembarannya, pembaca akan menemukan berbagai narasi mumpuni dari berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan sebagai modal utama oleh seseorang yang biasa disebut sebagai “شخص مثقف” (orang yang berwawasan). Sebenarnya, karya-karya tulis tersebut bertujuan untuk membekali orang-orang yang ditunjuk membidangi urusan “Diwan al–Insya`” (Juru Bicara/Sekneg), yaitu suatu bagian khusus yang menjadi penyampai pesan atau keputusan pemimpin suatu Negara untuk segenap rakyatnya, para bawahannya, dan juga untuk para pemimpin Negara-Negara lain. Manakala, mereka yang diberi amanah dalam bidang tersebut tidak dibekali dengan ilmu yang dapat memperkuat kemampuan diplomasi, menambah pengetahuan dan wawasan, serta meningkatkan kelihaian analisa kondisi dan karakter lawan interaksi mereka, niscaya mereka tidak akan dapat melaksanakan tanggung jawab mereka sebagaimana mestinya. Al-Qalqasyandi dalam bukunya “Shubhu al–A`sya” mengatakan, “Ketahuilah, bahwa sekalipun juru bicara itu butuh terhadap berbagai macam pengetahuan dan perlu menyelami semua disiplin ilmu, namun itu bukan berarti porsi yang ia butuhkan dalam berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu tersebut semuanya sama dan setara”[4]. Dengan demikian, di sini dapat disimpulkan dua hal; Pertama: seorang juru bicara, layak mempelajari satu sisi dari semua pengetahuan dan disiplin ilmu. Kedua: kebutuhannya terhadap berbagai ilmu tersebut bervariasi, namun yang memiliki peran paling penting baginya adalah ilmu bahasa. Pada masa itu, buku-buku sastra mendapat perhatian khusus di kalangan orang-orang yang berwawasan dari generasi kaum muslimin, terutama mereka yang terobsesi untuk menjadi juru bicara khalifah. Bahkan, seorang pelajar yang ingin memperbaiki diri dan prilaku, serta ingin menambah dan memperluas wawasan pemikirannya, tidak bisa abai terhadap buku-buku tersebut. Ibnu Qutaibah dalam muqaddimah bukunya yang berjudul “`Uyun al–Akhbar” berkata, “Saya telah mencantumkan berbagai informasi penting untukmu dalam karya ini. Agar kamu bisa memanfaatkan yang terbaik darinya untuk dirimu. Menguatkannya dengan wawasan, membebaskannya dari prilaku buruk, sebagaimana engkau memurnikan perak putih dari kerak yang mengotorinya. Melatihnya untuk senantiasa mengambil contoh yang baik, jalan hidup yang lurus, adab yang mulia dan akhlak yang agung. Dengannya engkau dapat menyampaikan ucapan dan tulisanmu dengan baik.” [5] Para penulis dalam disiplin ilmu sastra, menganalogikan karya-karya mereka layaknya meja prasmanan yang penuh dengan berbagai cita rasa makanan yang terhidang, mereka mengatakan, “Buku ini laksana meja prasmanan. Di atasnya terhidang berbagai jenis makanan, sesuai dengan selera masing-masing orang yang hendak mencicipinya.” [6] Dalam kamus “Lisan al–`Arab” disebutkan, “Adab yang membuat seorang manusia beretika disebut “adab”, karena ia mengarahkan seseorang kepada hal-hal terpuji dan menceganya dari hal-hal buruk.” [7] Pengertian “Tsaqafah” Sebagai Frasa Kita telah memahami pengertian “tsaqafah” sebagi kata tunggal mutlak. Adapun pengirtian “tsaqafah” sebagai kata dalam bentuk frasa “tsaqafah al–ummah” (budaya ummat/bangsa), adalah warisan peradaban dan pemikiran suatu ummat atau suatu bangsa, dari segala aspek teoritis dan aplikatif, yang menjadi karakter bangsa tersebut. Warisan yang membentuk budaya bangsa ini, saling berkaitan satu sama lain. Lalu menimbulkan sebuah lingkungan komunitas yang mengatur individu, rumah tangga, dan masyarakat di setiap bangsa. “Tsaqafah” budaya suatu bangsa dari segala aspeknya yang berbeda-beda, membetuk gaya dan pola hidup bangsa tersebut. Keyakinan suatu bangsa, sejarahnya, pandangan hidupnya, pemikiran dan teori-teori yang berkecamuk dalam benak para generasi dan cendekiawannya, serta tertuang dalam buku-buku dan pelajaran-pelajarannya, semuanya memiliki andil dalam menentukan suatu pola yang mengatur dan menentukan arah hidup bangsa tersebut. Oleh karena itu, sebagian peniliti mendefenisikan “tsaqafah” sebagai “pola hidup yang menjadi ciri khas suatu bangsa.” [8] Tiap individu, sejak ia berinteraksi dengan kehidupan dalam suatu masyarakat tertentu, akan mengenyam “tsaqafah” (budaya) bangsa, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Budaya tersebut akan memberi pengaruh dalam membentuk pola pikir, keyakinan (akidah), dan prilakunya (akhlak). Dengan itu, ia akan berbaur dengan masyarakat di sekitarnya, lambat laun adat dan tradisinya pun terbentuk secara bertahap. Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– bersabda, “Tiap anak lahir dalam kedaan “fitrah”, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau pun Majusi.” [9] Anak yang baru lahir adalah ibarat bahan baku yang masih asli, murni dan bersih; belum terkontaminasi dengan noda kesyirikan dan maksiat. Namun, orang tuanyalah yang bertanggung jawab menanamkan pemikiran, keyakinan dan gaya hidup bagi anak tersebut. Oleh karena itu, apabila sebagian individu dalam suatu komunitas masyarakat tertentu menyimpang dari cara hidup yang dijalani oleh masyarakat tersebut, niscaya ia akan dipandang aneh serta dibenci, karena dianggap telah menyalahi nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang telah diwariskan oleh para pendahulu mereka secara turun temurun. Bahkan, bisa jadi ia akan diberi sanksi yang keras. Terkait hal itu, kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami para Nabi dan Rasul yang dianggap oleh kaumnya telah keluar dari ajaran-ajaran nenek moyang mereka, sebagaiman yang dikisahkan dalam al-Qur’an, surat Ibrahim, ayat 13, Allah –Ta`ala– berfirman; وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِرُسُلِهِمۡ لَنُخۡرِجَنَّكُم مِّنۡ أَرۡضِنَآ أَوۡ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَاۖ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَيۡهِمۡ رَبُّهُمۡ لَنُهۡلِكَنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ “Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu” Sampai pada tahap ancaman pembunuhan, sebagaiamana disebutkan dalam surat asy-Syu`ara, ayat 116, Allah –Ta`ala- berfirman, قَالُواْ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ يَٰنُوحُ لَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمَرۡجُومِينَ “Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam”. Lalu dalam surat az-Zukhruf, ayat 22-25, disebutkan bagaimana sikap orang-orang kafir dalam mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang mereka, Allah –Ta`ala- berfirman, بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ ۞قَٰلَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكُم بِأَهۡدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمۡ عَلَيۡهِ ءَابَآءَكُمۡۖ قَالُوٓاْ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ فَٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡۖ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ “Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya. Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. Itulah yang mereka terima dari nenek moyang mereka, warisan yang telah menghalangi mereka mengikuti para Rasul –alihimussalam-, yaitu warisan keyakinan, pemikiran dan peradaban yang telah membentuk kepribadian mereka sejak dini. Dan, itulah yang kita sebut hari ini sebagai “tsaqafah”. “Tsaqafah” bagi tiap ummat adalah semua hal yang meliputi mereka dan membentuk gaya hidup mereka serta mengungkung orang-orang yang hidup di ruang lingkup atau lingkungan masyarakatnya. “ثقاقة صالحة“/“Tsaqafah Shalihah” vs “ثقافة جاهلية“/“tsaqafah jahiliyah” Dari paparan yang lalu, kita dapat menyimpulkan bahwa “tsaqafah” ada dua jenis, yaitu “tsaqafah shalihah” (budaya yang baik atau lurus), dan “tsaqafah jahiliyah” (budaya yang buruk atau sesat). “Tsaqafah sahalihah” adalah “tsaqafah” yang berasaskan iman kepada Allah, berorientasi kepada-Nya, berhukum dengan syariat-Nya, pembenaran terhadap seluruh informasi yang berasal dari-Nya. Sebaliknya, “tsaqafah jahiliyah” adalah yang tidak sejalan dengan kriteria tersebut. Maka seluruh ummat yang menolak dakwah para Rasul –alaihimussalam- masuk dalam kategori “tsaqafah jahiliyah” yang sesat dan melenceng. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat al-Maidah, ayat 50: أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Para Rasul –alaihimussalam– diutus untuk membenahi kehidupan manusia, meluruskan dan memurnikannya. Kita tidak boleh mengklaim bahwa “tsaqafah” atau budaya seluruh bangsa itu sama, kebal kritik dan perbaikan. Sangat disayangkan, salah satu putusan yang dihasilkan oleh Kongres Dunia Kedua membahas tentang “kebijakan budaya” yang diselenggarakan di Meksiko tahun 1982 atas prakarsa UNESCO yang menyatakan bahwa, “Sesungguhnya tiap budaya memiliki nilai tersendiri. Penegasan terhadap subjektivitas budaya berkontribusi terhadap pembebasan segenap bangsa serta meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Dan, bahwasanya seluruh budaya merupakan bagian integral dari warisan bersama untuk kemanusiaan. Bahwasanya semua budaya adalah sama dalam kerangka pemartabatan. Bahwasanya setiap orang dan masyarakat berbudaya berhak mendapat pengakuan dan pengukuhan serta pelestarian terhadap identitas budayanya, sekaligus memberi jaminan penghormatan yang layak terhadap budaya tersebut.”[10] Poin yang bermasalah dalam hasil keputusan kongres tersebut adalah pernyataan bahwa semua budaya bangsa itu sama. Dan, bahwasanya setiap orang dan masyarakat berbudaya berhak mendapat pengakuan dan pengukuhan serta pelestarian terhadap identitas budayanya. Konsep persamaan tersebut bisa saja benar dalam konteks suatu kebudayaan yang lahir dari warisan adat dan tradisi masing-masing bangsa. Dalam hal ini status budaya itu sama, di mana suatu bangsa tidak berhak memaksa bangsa lain untuk mengikuti kebudayaannya. Namun, hal itu berbeda apabila budaya suatu bangsa itu lahir dari agama Ilahi samawi, diturukan dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, maka konsep kesetaraan dan penyamaan antara “tsaqafah shalihah” yang lurus dengan “tsaqafah jahiliyah” yang sesat merupakan bentuk kezaliman. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat al-Qalam, ayat 35-36, أَفَنَجۡعَلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ كَٱلۡمُجۡرِمِينَ مَا لَكُمۡ كَيۡفَ تَحۡكُمُونَ “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?, Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” Perbedaan Antara Ilmu dan “ثقافة“/“Tsaqafah” Serta Konsekuensinya “Ilmu adalah seperangkat fakta yang dicapai oleh akal manusia melalui tahapan dan proses berpikir, bereksperimen, serta pengamatan secara kontinyu dalam kurun waktu yang berkesinambungan dan disimpulkan melalui pengujian berulang kali, sehingga tidak akan berbeda karena perbedaan rasa, dan tidak akan berubah oleh perubahan kepentingan.” [11] Ilmu merupakan warisan manusia yang bersifat global, tidak khusus untuk bangsa tertentu saja. Tidak pula dimonopoli oleh benua tertentu sehingga yang lain tergantung padanya. Ilmu tersebar laksana udara yang digunakan untuk bernafas. Ilmu seperti laut yang mengelilingi daratan. Di atas permukaannya berlayar ratusan behtera yang mengusung berbagai bendera, dimana seluruh negeri terus berpacu dan bersaing mendapatkan ilmu tersebut. Bahkan beberapa negara rela mengeluarkan biaya besar bagi siapa pun yang dapat memberikan informasi rahasia ilmiyah yang dicapai oleh negara-negara yang menjadi rival mereka baik dalam hal prinsip maupun keyakinan. Akan tetapi, mereka yang memiliki semangat dan jiwa reformasi dan kepemimpinan di negara-negara tersebut akan terus berusaha siang malam mencari cara untuk melindungi generasi-generasi mereka dari berbagai intervensi dan semua kontaminasi keyakinan-kayakinan asing. Perlu diketahui bahwa orang-orang Barat kapitalis membangun peradaban ilmu mereka yang tinggi berasaskan temuan-temuan para ilmuwan muslim pada masa lalu, baik dalam bidang kedokteran, arsitek, matematika, aljabar, astronomi dan ilmu pengetahuan lainnya. Jika memang ilmu adalah warisan manusia yang bersifat global, dimana kemajuan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan tingkat penguasaan terhadap ilmu tersebut, seharusnyalah orang-orang Islam mempelajari seluruh ilmu yang bermanfaat, baik di Timur maupun di Barat, ilmu klasik ataupun modern. Lalu dengan itu kita akan membangun suatu peradaban ilmu yang menjadikan kita sebagai ummat yang kuat dan disegani. Al-Quran memerintahkankan kita untuk membangun kekuatan perang, Allah –Azza wa Jalla– berfirman dalam surat al-Anfal, ayat 60, وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” Wujud kekuatan modern dewasa ini meliputi pesawat tempur, tank, kapal perang, kapal selam, senjata otomatis, meriam, rudal, bom nuklir dan hydrogen. Semua itu hanya bisa terwujud melalui penguasaan berbagai ilmu pengetahuan. Ini tentunya dalam bidang ilmu fisika. Adapun dalam bidang “tsaqafah”, maka ummat Islam memiliki tsaqafahnya sendiri, yang telah membentuk kepribadian tiap individu dan bangsanya, serta membedakan mereka dengan bangsa lain. Kapanpun ummat Islam menaggalkan tsaqafah mereka yang terwujud dalam nilai-nilai, akhlak, syariat, dan adab-adab, maka itu menandai awal kehancuran dan kebinasaan mereka. Lalu, setelah itu mereka beralih kembali kepada kejahiliaan yang sebelumnya telah ditinggalkan dengan datangnya hidayah Islam. Kalau ini sudah kita pahami dengan baik maka dengan mudah kita dapat memilih dan memilah mana yang harus kita ambil dari peradaban Barat dan mana yang mesti kita abaikan. Perbedaan Antara“ثقافة” /“Tsaqafah” (Kebudayaan) dan “حضارة“/“Hadharah” (Peradaban) Seperti halnya istilah “tsaqafah”, istilah “hadharah”/”حضارة” (peradaban) saat ini juga sering digunakan dalam ceramah, seminar atau pun dalam karya tulis. Misalnya, menngatakan bahwa “si fulan mutahaddhir”, “si fulan tidak mutahaddhir”, “ummat Islam adalah ummat yang mutahaddhirah”. Sifat ini, disamping disematkan kepada individu dan kelompok masyarakat, juga dapat disematkan kepada suatu perbuatan. Interaksi yang baik disebut interaksi yang bersifat “hadharah”, sedangkan interaksi yang kasar dikategorikan sebaliknya. Orang Arab memaknai istilah “hadharah” sebagai antitesa dari “badawah” (kampungan atau primitif), “hadhirah”/”حاضرة” (yang maju) lawan dari “badiyah”/”بادية” (yang tertinggal). Makna dari kata “حضارة” dalam kamus bahasa Arab bermuara pada pengertian kehidupan kota, dan “بداوة” adalah kehidupan pedalaman, “al–hadhar”/”الحضر” adalah penduduk perkotaan, sedangkan “al-badwu”/”البدو” adalah penduduk gurun. Dalam peristilahan kontemporer kata “حضارة” tidak lagi terbatas pada pengertian istilah klasik yaitu lawan dari “بداوة” (primitif), akan tetapi sudah mengalami ekspansi makna yang memiliki pengertian lebih luas, yaitu kemajuan dan peningkatan taraf hidup suatu masyarakat dari taraf kehidupan sederhana. Sehingga masyarakat yang memiliki nilai-nilai spiritual tinggi, dan menggunakan alat-alat modern yang canggih dibanding kehidupan alamiah yang sederhana, biasa mereka sebut sebagai “المجتمع المتحضر” atau “masyarakat berperadaban maju”. Berdasarkan pengertian “hadharah” (kebudayaan) tersebut, maka istilah “hadharah” bersifat lebih luas dan lebih komprehensif. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa “Tsaqafah” dalam artian “budaya” adalah cara hidup yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan tak lain merupakan hasil dari norma-norma prilaku, nilai-nilai sosial, prinsip-prinsip spiritual dan asas-asas keyakinan. Dengan kata lain, “tsaqafah” merupakan lingkungan yang membentuk karakter individu dan kepribadiannya, sedangkan “hadharah” (peradaban) memberi makna lebih, yaitu dari segi kemajuan materil yang dicapai oleh individu dan ummat. Sebagian peneliti, memandang bahwa istilah “tsaqafah” (kebudayaan) dan “hadharah” (peradaban) memiliki pengertian yang sama. Keduanya mencakup aspek maknawi dan aspek materil. Yang lain mengatakan bahwa maksud dari istilah “hadharah” adalah capaian suatu kelompok masyarakat, berupa kemajuan bersifat fisik, seperti kemajuan dalam bidang produksi, inovasi, pembangunan, pertanian dan lainnya. Mereka tidak menganggap kemajuan hidup suatu bangsa dari aspek maknawi sebagai bagian dari pengertian “hadharah.” [12] Ada dua hal yang perlu dicatat di sini; pertama: hubungan antara istilah “tsaqafah” (kebudayaan) dan istilah “hadharah” (peradaban) tidak lepas dari pendefinisian secara terminologis antar keduanya. Terkadang definisi keduanya sama, namun terkadang “hadharah” memiliki pengertian yang lebih luas dan terkadang pula definisi keduanya berbeda. Maka dalam hal ini, ulama mengatakan “tidak perlu ada perdebatan hanya karena perbedaan istilah.” Kedua: “Tsaqafah” (kebudayaan) dan “hadharah” (peradaban) memiliki hubungan erat. Keduanya bisa saja merupakan satu hal yang sama, maka “tsaqafah” atau budaya suatu bangsa adalah juga “hadharah” atau peradaban bangsa tersebut. Dalam artian tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa tersebut, dari aspek pemikiran, pandangan, keyakinan dan moral. Atau bisa juga “tsaqafah” atau kebudayaan merupakan pondasi dari “hadharah” atau peradaban, manakala yang dimaksud “tsaqafah” adalah aspek maknawi, sedang “hadharah” adalah aspek materilnya. Objek Studi Tsaqafah Islamiyah Setelah menjelaskan istilah “tsaqafah” baik sebagai kata tunggal mutlak, maupun sebagai kata dari frasa “tsaqafah al-ummah,” maka selanjutnya kita berusaha menententukan objek dari “tsaqafah Islamiyah.” Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian “tsaqfah” sebagai kata dari frasa “tsaqafah al-ummah” atau budaya suatu bangsa adalah “cara hidup bangsa tersebut.” Bagi bangsa selain Islam, cara hidup mereka ditentukan oleh warisan pemikiran dan peradaban. Sedangkan bagi ummat Islam, cara hidup mereka ditentukan oleh Islam itu sendiri. Karena pada dasarnya Islam adalah “cara hidup yang bersifat integral”. Dengan demikian, objek “tsaqafah islamiyah” atau kebudayaan Islam adalah Islam dari seluruh aspeknya; akidah, akhlak dan metode, dalam menjalankan ibadah, ekonomi, politik, sosial dan hukum. [1] Lihat ucapan Menteri Negara Kuwait Abdul Aziz Husain, dan Ketua perwakilan Negara Kuwait dalam Muktamar, dari Surat Kabar “as-Siyasah al-Kuwaitiyah” tanggal 25/09/1982. [2] Nahwu Falsafah `Arabiyah, Abdul Ghani an-Nuri, dkk. hlm. 54. [3] Lisan al-`Arab, lema “ثقف” : 1/364, lihat “محيط المحيط، al-Bustani: 1/191, “Al-Faiq Fi Gharib al-Hadits” Az-Zamakhsyari: 1/471. [4] Shubhu al-Asya: 1/146, cet. Wizarah ats-Tsaqafah: Kairo. [5] `Uyun al-Akhbar, Ibnu Qutaibah, Jz. 1, Muqaddimah, cet. Wizarah ats-Tsaqafah: Mesir. [6] Ibid. [7] Lisan al-`Arab, lema: (أدب), 1/33. [8] Al-Mausu`ah al-Arabiyah al-Muyassarah, Syafiq Ghirbal, dkk. hlm. 39. Ats-Tsaqafah wa at-Tarbiyah Fi al-`Ushur al-Qadimah, Wahib Ibrahim, cet. Dar al-Ma`arif: Mesir, 1961. [9] Riwayat Bukhari dan Muslim. [10] Jaridatu as-Siyasah al-Kuwaitiyah, 25/9/1982. [11] Manhaju ats-Tsaqaafah al-Islamiyah, Muhibbuddin al-Khathib, hlm. 10 [12] Baca dari buku “Dirasah Fi al-Hadharah wa al-Madiinah”, Ahmad Ibrahim asy-Syarif, hlm. 19, cet. Dar al-Fikr al-`Arabi, Beirut. Buku “Tarikh al-Hadharah” Abu Zaid asy-Syalabi, cet. Maktabah Wahbah, Kairo, hlm. 7. Kitab “Lamahat Fi ats– Tsaqaafah al-Islamiyah”, Umar `Audah al-Khathib, hlm. 42. Terjemahan Kitab budayatsaqafah