BAB PEMBAGIAN TAUHID MENJADI DUA JENIS DAN PENJELASAN JENIS PERTAMA YAITU TAUHID AL-MA`RIFAH DAN AL-ITSBAT Lalu Heri Aprizal, 12 November 2024 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Lalu Heri Aprizal. Editor: Idrus Abidin وأوَّلُ واجبٍ على العبيدِ معرفةُ الرحمنِ بالتوحيدِ إذْ هوَ مِنْ كلِّ الأوامرِ أعظمُ وهوَ نوعانِ أيَّاً من يفهمُ إِثْبَاتُ ذَاتِ الرَّبِّ جَلَّ وَعَلَا أَسْمَائِهِ الْحُسْنَى صِفَاتِهِ الْعُلَى وَأَنَّهُ الرَّبُّ الْجَلِيلُ الْأَكْبَرُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ وَالْمُصَوِّرُ بَارِي الْبَرَايَا مُنْشِئُ الْخَلَائِقِ مُبْدِعُهُمْ بِلَا امتثَالٍ سَابِقِ Kewajiban pertama bagi seorang hamba Mengenal Ar Rahmaan dengan bertauhid Kewajiban yang paling besar dari seluruh perintah Mencakup dua jenis yang wajib dipahami Menetapkan Zat Allah Jalla wa `Ala serta Seluruh Nama Allah yang baik dan sifat-Nya yang tinggi Mengimani bahwa Rab Yang Mahamulia dan Mahabesar Maha Pencipta, Menghidupkan, dan Membentuk Maha Menghidupkan dan Mencipta seluruh makhluk Menciptakan segalanya yang belum ada sebelumnya “أول واجب” (kewajiban pertama), yaiu perkaya yang difardukan oleh Allah –Azza wa Jalla-, “على العبيد” (bagi seorang hamba), adalah “معرفة الرحمن” (mengenal Ar Rahmaan), yaitu mereka wajib mengenal-Nya “بالتوحيد” dengan mentauhidkan-Nya yang telah menciptakan mereka, dan telah mengambil perjanjian dari mereka, lalu menetapkan fitrah mereka untuk menyaksikan dan mengikrarkan tauhid kepada Allah –Ta`ala-, kemudian Allah –Ta`ala– mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci untuk menjelaskannya. “إذ” adalah kata yang menunjukkan adanya sebab akibat terkait dengan “kewajiban pertama” bahwa sebab kewajiban pertama seorang hamba mengenal Rabnya dengan mentauhidkan-Nya adalah “هو من كل الأوامر” (dia dari seluruh perintah) yaitu perintah Allah –Ta`ala– kepada hamba-hamba-Nya yang “mukallaf” (sudah baligh/terbebani hukum syar`i) dengan kalimat yang menuntut pelaksaan, “أعظم” (yang paling agung), sebagaiman kebalikan dari itu perkara syirik, membatalkan nama-nama dan sifat-sifat Allah –Ta`ala-, atau menyerupakan Ia dengan makhluk-Nya adalah larangan yang paling besar. Oleh karena itu, seorang hamba belum dianggap masuk Islam sebelum bertauhid, dan tidak dikeluarkan dari Islam kecuali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, serta tidak dijauhkan dari api Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga tanpa tauhid. Tiidak pula kekal di Neraka dan haram masuk surga kecuali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, bahkan para Rasul tidak menyeru kepada suatu perkara sebelumnya, dan tidak melarang suatu perkara sebelum melarang hal-hal yang bertentangan dengannya. “وهو” (dan dia) yaitu tauhid, “نوعان” (dua jenis), yaitu: Pertama: “Tauhid Ilmi al-Khabari al-I`tiqadi`”, jenis ini mencakup penetapan sifat-sifat Allah –Ta`ala– yang sempurna, dan menyucikan-Nya dari “tamtsil” dan “tasybih” atau permisalan dan penyerupaan dengan apapun, menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak sempurna, ini yang disebut “tauhid rububiyah” dan “tauhid asmaa dan sifat” Kedua: at-Tauhid at-Thalabi al-Qashdi al-Iradi, jenis ini mencakup perkara ibadah kepada Allah –Ta`ala– semata tanpa sekutu, memurnikan kecintaan, keikhlasan, ketakuan, harapan, tawakkal, dan keridhaan kepada-Nya semata, sebagai “Rab”, “Ilah”, dan “Wali”, tidak menjadikan apapun sebagai tandingan bagi-Nya, inilah yang disebut “tauhid uluhiyah”. Seluruh kandungan Al-Qur`an dari awal hingga akhir menegaskan dua jenis tauhid tersebut; yaitu pembahasan mengenai Allah –Ta`ala– dan hal-hal yang wajib disifatkan kepada-Nya berikut hal-hal yang wajib dijauhkan dari-Nya. Itulah hakikat dari “tauhid `ilmi khabari i`tiqadi”. Serta pembahasan mengenai dakwah yaitu ajakan untuk beribadah kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya, dan menjauhi segala yang disembah selain-Nya, itulah hakikat dari “tauhid thalabi iradi”. Disamping itu, Al-Qur`an juga membahas beberapa hal lain meliputi; perintah, larangan, dan kewajiban taat kepada-Nya, karena itu merupakan hak-hak yang harus dipenuhi dalam bertauhid serta menjadi penyempurnanya, juga bagaimana Allah –Ta`ala– memuliakan ahlu tauhid, dengan pertolongan di dunia, serta kemuliaan di akhirat yang merupakan balasan dari tauhidnya kepada Allah –Ta`ala-, serta membahas mengenai ahlu syirik dengan timpaan azab di dunia dan siksaan di akhirat. Itulah balasan bagi orang yang mengingkari tauhid. Maka al-Quran seluruhnya berbicara tentang tauhid, hak-haknya dan ganjarannya, juga berbicara tentang kesyirikan dan ahlinya serta balasan bagi mereka. Bacalah tentang penggabungan antara kedua konsep tauhid tersebut (dalam firman Allah): “Thâhâ. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu maka sungguh Dia mengetahui rahasia yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang barhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asma al-husna (nama-nama yang mulia).” [QS. Thâhâ: 1-8], dan juga dalam ayatu al-Kursi, Qul Huwallâh (al-Ikhlas) dan ayat-ayat lainnya di dalam al-Quran. Bacalah pula tentang perintah dan larangan (firman Allah): “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [QS. al-Hasyr: 7]. Bacalah tentang kemuliaan yang dikaruniakan kepada ahli tauhid di dunia dan Akhirat “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari Kiamat)” [QS. Ghâfir: 51]. Bacalah tentang kehinaan yang ditimpakan kepada ahli kesyirikan di dunia dan akhirat: “Dan berlaku angkuhlah Fir`aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).” [QS. al-Qashsash: 39-42]. Pambahasan dalam pasal ini seputar konsep yang pertama yaitu: tauhid `ilmy-khabary-i`tiqâdy (tauhid berupa konsep-konsep keyakinan berdasarkan informasi ilahi), yaitu tauhid (isbat) yang merupakan penjabaran dari perkataan kami sebelumnya: (bahwa tauhid itu) “dua macam”; yang pertama ialah (isbat Zat Rabb—jalla wa`alâ). Karena sesungguhnya seluruh alam semesta ini baik yang di atas maupun di bawah pastilah memiliki pencipta yang mewujudkannya, yang bertindak apapun padanya dan mengatur segala urusannya. Mustahil alam semesta ini terwujud tanpa Pencipta, dan mustahil pula ia menciptakan dirinya sendiri. Tentang penetapan terhadap rubûbiyyah dan tauhid ulûhiyyah ini Allah Swt. berfirman: “Apakah mereka tercipta tanpa sesuatu (yang menciptakan mereka). Ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri). Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi. Namun mereka tidak mau meyakini.” [QS. Ath-Thûr: 35-36]. Ibnu `Abbâs r. a. berkata: “Makna: ‘Apakah mereka tercipta tanpa sesuatu’, adalah: tanpa Rabb.”[1] Maksudnya, apakah mereka terwujud tanpa sesuatu yang menciptakan mereka, yakni mereka terwujud tanpa Pencipta?! Hal ini adalah kemustahilan, karena ketergantungan makhluk terhadap Khaliq merupakan sebuah keniscayaan. Yang disebut makhluk mestilah memiliki Khaliq. Kalaupun mereka mengingkari Sang Khaliq tetap saja mustahil mereka terwujud tanpa Pencipta. “Ataukah mereka yang menciptakan”, yakni menciptakan diri mereka sendiri?! Ini jelas lebih mustahil daripada sebelumnya, sebab sesuatu yang tidak ada bagaimana mungkin bisa mengadakan! Maka apabila kedua pilihan tersebut adalah mustahil, tegaklah argumentasi kebenaran di hadapan mereka bahwa mereka memiliki pencipta, dan hendaklah mereka beriman kepada-Nya. “Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi”, ini lebih-lebih mustahil lagi, karena sesuatu yang didahului oleh ketiadaan tiada mungkin terwujud dengan sendirinya apalagi akan menciptakan sesuatu yang lain. Dan ini adalah pengingkaran tegas terhadap kesyirikan mereka kepada Allah Swt, padahal mereka mengetahui bahwa Dialah Sang Pencipta yang tiada sekutu bagi-Nya. “Namun mereka tidak mau meyakini”, yakni ketidakyakinan merekalah yang menyebabkan mereka demikian. Diriwayatkan dari Jubair bin Muth`im r. a. ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw. membaca dalam (shalat) Magrib surat Ath-Thûr. Ketika tiba pada ayat ini: ‘Apakah mereka tercipta tanpa pencipta, ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini’, hampir saja hatiku terbang (pingsan).” [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Seringkali Allah Swt. menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya dalil-dalil pengetahuan tentang-Nya dengan menggunakan ayat-ayat yang nyata berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya baik yang di atas (langit) maupun di bawah (bumi), sebagaimana firman-Nya: “Dan di bumi itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang yakin.” [QS. Adz-Dzâriyât: 20]. Yakni, padanya terdapat tanda-tanda yang menunjukkan keagungan Penciptanya dan kemahakuasaan-Nya yang mengagumkan, yang Dia letakkan pada beraneka ragam tumbuhan, binatang, lembah, pegunungan, gurun, sungai, lautan, dan berbagai macam bahasa dan warna kulit manusia, beragam tradisi, kecendrungan dan kekuatan, serta perbedaan akal dan pemahaman, gerak-gerik, tingkat kebahagiaan dan kesengsaraan, serta berbagai hikmah di balik penciptaan postur dan anggota badan mereka yang diletakkan pada posisi yang ia dibutuhkan padanya. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman: “Dan pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian menyaksikan?” [QS. adz-Dzâriyât: 21]. Qatâdah berkata: Siapa yang berpikir tentang penciptaan dirinya niscaya ia akan mengetahui bahwa sesungguhnya persendiannya dilunakkan adalah untuk beribadah. Demikian pula dalam permulaan penciptaan manusia terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang sangat besar, ketika ia awalnya berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah beku, lalu menjadi segumpal daging, kemudian diberikan tulang belulang hingga akhirnya ditiupkan ruh padanya. Allah Swt. berfirman: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan, dan sungguh Kami meluaskan penjuru-penjurunya. Dan bumi Kami hamparkan; maka (Kami) sebaik-baik yang telah menghamparkannya. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kalian mengingat (kebesaran Allah).” [QS. adz-Dzâriyât: 47-49]. Allah Swt. mengingatkan akan penciptaan makhluk di langit dan di bumi. “Dan langit itu Kami bangun” yakni kami jadikan ia sebagai atap yang terjaga dan tinggi, “dengan aidin (kekuatan)” yakni dengan kekuatan. Tafsir ini dikatakan oleh Ibnu `Abbâs, Mujâhid, Qatâdah, Ats-Tsauri dan lain-lain.[2] “Dan sungguh Kami benar-benar mûsi`ûn (meluaskan penjuru-penjurunya)”, Ibnu `Abbâs r. a. berkata (tentang makna lamûsi`ûn): “(Yakni) benar-benar berkuasa.”[3] Dari beliau pula: “Benar-benar meluaskan rezeki bagi ciptaan Kami.”[4] Pendapat lainnya: “Memiliki kemampuan.”[5] Ibnu Katsîr menafsirkan: “Yakni, Kami telah meluaskan penjuru-penjurunya dan mengangkatnya tanpa tiang sehingga ia berdiri sendiri sebagaimana adanya.” “Dan bumi Kami hamparkan”, yakni kami jadikan ia sebagai hamparan tempat tinggal bagi makhluk, “maka (Kami) sebaik-baik yang telah menghamparkan(nya)”, Kamilah sebaik-baik yang membentangkannya. Ibnu `Abbâs menafsirkan: “Sungguh baik apa yang Aku hamparkan bagi hamba-hamba-Ku.”[6] “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan”, dua hal berbeda yang berpasang-pasangan seperti langit dan bumi, matahari dan bulan, malam dan siang, daratan dan lautan, gunung dan lembah, musim panas dan musim dingin, jin dan manusia, laki-laki dan perempuan, cahaya dan kegelapan, iman dan kekufuran, kebahagiaan dan kesengsaraan, surga dan neraka, kebenaran dan kebatilan, manis dan pahit, dunia dan akhirat, kematian dan kehidupan, benda mati dan hidup, yang bergerak dan diam, panas dan dingin, dan lain sebagianya. “agar kalian mengingat (kebesaran Allah)”, yakni agar kalian mengetahui bahwa Sang Pencipta itu Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. (Ibnu Katsîr dan al-Baghwy). Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, serta pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.” [QS. al-Baqarah: 164]. Abu Adh-Dhuhâ berkata: “Ketika turun firman Allah: ‘Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ orang-orang musyrik berkata: ‘Jika memang demikian, coba ia datangkan kepada kami suatu ayat (tanda kekuasaan). Maka Allah Swt. menurunkan (firman-Nya): ‘Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi…’”[7] (Pada penciptaan langit) itu, yakni ketinggiannya, kelembutannya, keluasannya, bintang-gemintangnya baik yang beredar maupun yang tetap, dan juga peredaran falaknya, demikian pula bumi ini dengan ketebalannya, kerendahannya, pegunungannya, lautannya, gurunnya, lembahnya, pemukimannya dan berbagai hal bermanfaat yang ada padanya. “Dan pergantian malam dan siang”, ketika malam datang, siang pun pergi, lalu diganti kembali oleh malam, disusul langsung tanpa terlambat sejenakpun, sebagaimana firman Allah Swt.: “Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” [QS. Yâsîn: 40]. Terkadang siang yang panjang dan malam yang pendek, terkadang malam mengambil sebagian dari siang, lalu saling bergantian, sebagaimana firman Allah Swt.: “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam”, [QS. Fâthir: 13] yakni memanjangkan malam atas siang dan siang atas malam. “Dan bahtera yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna bagi manusia”, yakni ditundukkannya lautan untuk membawa kapal-kapal dari satu pantai ke pantai lainnya untuk kehidupan manusia dan agar mereka (yang berlayar) dapat mengambil manfaat dari penduduk negeri seberang dan mengantarkan mereka ke sana. “Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya” sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus), lalu Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan.” [QS. Yâsîn: 33] hingga firman-Nya: “(Dan Dia menciptakan)… apa-apa yang mereka tidak ketahui.” [QS. Yâsîn: 36]. “Dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan”, dengan beraneka ragam bentuk, jenis, warna dan manfaatnya, baik yang besar maupun kecil, dan Allah mengetahui semuanya, memberi mereka rezeki, tiada satupun dari semua hewan itu yang tersembunyi dari-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan tidak satupun makhluk melata (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggalnya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata.” [QS. Hûd: 6]. “Dan pengisaran angin (riyâh)”, yang kadangkala membawa rahmat dan kadangkala membawa azab—yang disebut rîh. Terkadang juga datang membawa berita baik yaita n awan, kadang menggiringnya, kadang mengumpulkannya, kadang memisahkannya, kadang menghalaunya, kadang datang dari utara (dari arah Syâm) dan kadang datang dari selatan (dari arah Yaman), kadang dari arah timur, kadang dari arah barat, dan lain sebagainya, hanya Allah yang tahu. “Dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi”, yakni awan yang berjalan di antara langit dan bumi, digiring menuju tempat-tempat dan belahan bumi yang dikehendaki oleh Allah. Dia menggiringnya “Agar menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang berakal”, yakni dalam semua hal itu terdapat petunjuk yang nyata tentang keesaan Allah Swt. bagi orang-orang yang berakal.[8] Sehingga mereka mengetahui bahwa segala sesuatu tersebut memiliki Pencipta yang Mahakaya secara Zat-Nya, dan segala sesuatu selain Dia sangatlah butuh kepada-Nya. Dialah yang maha berdiri sendiri, sementara segala sesuatu selain-Nya tidak dapat berdiri kecuali dengan (kuasa)Nya. Dialah yang Mahakuasa secara Zat-Nya dan segala sesuatu selain-Nya tidak memiliki kuasa kecuali sebatas yang diberikan oleh-Nya. Dialah yang bersifat dengan segenap sifat kesempurnaan, dan segala sesuatu selain Dia tiada yang sempurna. Kesempurnaan seutuhnya hanyalah milik-Nya, dan Dialah Allah Tabâraka wa Ta`âla. Allah Swt. berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kalian dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit kalian. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidur kalian pada waktu malam dan siang hari serta usaha kalian mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Dia memperlihatkan kilat kepada kalian untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tegaknya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kalian sekali panggil dari bumi, seketika itu kalian keluar (dari kubur).” [QS. ar-Rûm: 20-25]. Dia berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya” yakni yang menunjukkan keagungan-Nya dan kesempurnaan kuasa-Nya ialah Dia ciptakan nenek moyang kalian, Adam a. s. dari tanah. “Dia menciptakan kalian dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” Asal penciptaan kalian adalah dari tanah, lalu dari air yang hina (mani), kemudian dibentuk dan menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu memiliki tulang kerangka yang berbentuk seperti kerangka manusia, kemudian Allah Swt. membungkus tulang kerangka itu dengan daging, lalu meniupkan padanya roh, dan tiba-tiba ia dapat mendengar dan melihat. Kemudian ia dikeluarkan dari perut ibunya berupa bayi kecil yang lemah kekuatan maupun geraknya. Kemudian semakin umurnya bertambah kekuatan dan geraknya menjadi semakin sempurna, sampai pada tataran ia bisa membangun kota-kota, benteng-bentang, bepergian ke berbagai penjuru, berkendara di tengah lautan, berkeliling ke berbagai belahan bumi, bekerja dan mengumpulkan harta, ia juga memiliki pemikiran, pengalaman, kecerdikan, makar, ide, ilmu serta diluaskan urusan dunia dan akhiratnya sesuai kadar masing-masing. Mahasuci Allah yang telah membuat mereka mampu, menggiring, menundukkan dan mengarahkan mereka ke berbagai macam seni kehidupan dan pekerjaan, menjadikan mereka bertingkat-tingkat dalam hal ilmu, pikiran, kebaikan, keburukan, kekayaan, kemiskinan, kebahagiaan dan penderitaan. Diriwayatkan dari Abu Mûsâ r. a. bahwa ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta`âlâ telah menciptakan Adam dari segenggam (tanah) yang Dia ambil dari seluruh (penjuru) bumi. Sehingga datanglah anak keturunan Adam sesuai dengan karakter tanah tersebut. Ada yang berkulit putih, berkulit, merah, berkulit hitam dan berkulit antara (warna-warna tanah) itu. Ada yang buruk, ada yang baik, ada yang lembut, ada yang kasar dan lain sebagainya.” [HR. Ahmad, Abu Dâwûd dan at-Tirmidzi, dan komentar beliau (tentang status hadis ini): Hasan–Sahih].[9] “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri”, yakni menjadikan untuk kalian kaum wanita dari jenis kalian untuk menjadi pasangan hidup kalian, “agar kalian merasa tenteram kepadanya”, sebagaimana firman-Nya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar ia merasa tentram kepadanya” [QS. al-A`râf: 89], yakni menciptakan Hawa yang Dia ciptakan dari Adam, dari tulang rusuknya yang paling pendek sebelah kiri. Kalau seandainya Allah Swt. menciptakan seluruh anak Adam adalah kaum laki-laki, lalu menciptakan pasangan mereka dari jenis lain, seperti dari bangsa Jin atau hewan misalnya, niscaya mereka tidak akan merasakan keserasian dan kenyamanan dengan pasangan mereka. Tetapi justru akan menimbulkan rasa tidak suka apabila pasangannya bukan dari jenisnya. Kemudian di antara bentuk kesempurnaan rahmat Allah kepada anak cucu Adam ialah Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri lalu “Dia menjadikan di antara kalian mawaddah” yakni cinta “dan rahmah” yaknikasih sayang. Karena seorang suami menjaga istrinya karena dia mencintainya atau karena dia mengasihinya, baik karena anak-anaknya lahir darinya atau karena istrinya butuh kepadanya untuk ia beri nafkah, atau karena rasa nyaman di antara mereka berdua dan lain sebagainya. “Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” tentang keagungan dan kekuasaan Allah. “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya” yang menunjukkan kepada kekuasaan-Nya yang agung “ialah penciptaan langit dan bumi”, yakni menciptakan langit dengan ketinggiannya, fisiknya yang transparan, planet dan bintang-bintangnya yang tetap maupun yang berjalan, serta menciptakan bumi dengan kerendahannya, fisiknya yang tebal, serta segala yang ada di atasnya berupa gunung, danau, lautan, gurun, hewan, pepohonan dan sebagainya, “perbedaan bahasa” ada yang berbahasa Arab, bahasa Tatar, bahasa Gorgia, bahasa Romawi, bahasa Prancis, bahasa Barbar, bahasa Abbisyenia, bahasa India, bahasa Persia, bahasa Andalusia, bahasa Khazar, bahasa Armenia, bahasa Kurdi, dan berbagai macam bahasa Bani Adam lainnya yang tiada mengetahui keseluruhannya kecuali Allah Swt. “dan warna kulit kalian”, yakni perbedaan warna kulit kalian; kulit putih, kulit hitam, kulit merah, padahal kalian adalah anak cucu dari seorang lelaki dan seorang perempuan. Dan juga beraneka ragam perbedaan sifat dan perhiasan. Seluruh penduduk dunia ini sejak diciptakannya Adam hingga hari Kiamat memiliki dua mata, dua alis, satu hidung, satu kening, satu mulut dan dua pipi, tetapi tidak ada satupun yang sama persis dengan yang lain. Pasti ada saja yang membedakannya baik dalam rupa, bentuk, cara bicara, baik yang tampak secara zahir ataupun tersembunyi tetapi terlihat ketika diperhatikan. Setiap wajah memiliki gaya tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Meskipun sekelompok orang sama-sama rupawan atau buruk rupa, pastilah terdapat perbedaan antara masing-masing dari mereka. “Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidur kalian pada waktu malam dan siang hari serta usaha kalian mencari sebagian dari karunia-Nya”, yakni termasuk tanda kekuasaan Allah ialah sifat tidur yang Dia jadikan pada malam hari, dimana dalam hal itu terdapat rehat, tenangnya gerakan serta hilangnya rasa bosan dan lelah. Dia juga menjadikan kalian menyebar, mengusahakan sebab-sebab rezeki, melakukan perjalanan, dan hal ini adalah kebalikan dari tidur. “Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” dengan penuh tadabbur dan mengambil pelajaran. “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya” yang menunjukkan keagungan-Nya, bahwa “Dia memperlihatkan kilat kepada kalian untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan” yakni terkadang kalian merasa takut akan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya seperti hujan yang sangat deras dan halilintar yang menghancurkan, dan terkadang kalian mengharapkan kilatannya dan apa yang terjadi setelahnya berupa hujan yang dibutuhkan. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman: “Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering)”, yakni setelah sebelumnya kering kerontang, tidak tumbuh apapun padanya. “Kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah.” [QS. Al-Hajj: 5]. Dalam hal itu terdapat pelajaran dan bukti yang nyata tentang kehidupan Akhirat dan hari Kiamat. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman: “Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tegaknya langit dan bumi dengan kehendak-Nya.” Sebagaimana firman-Nya: “Dan Dia menahan langit agar tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya” [QS. Al-Hajj: 65] dan firman-Nya: “Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap; dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah.” [QS. Fâthir: 41]. Umar bin Al-Khaththâb apabila sungguh-sungguh dalam bersumpah beliau berkata: “Demi (Dzat) Yang langit dan bumi ini tegak dengan perintah-Nya”, yakni langit dan bumi menjadi tegak dan kokoh dengan perintah dan pengaturan-Nya. Kemudian ketika kelak terjadi hari Kiamat bumi diganti (bentuknya) tidak seperti bumi dan langit (yang kita ketahui), lalu orang-orang yang telah meninggal dunia dikeluarkan dari kuburnya dalam keadaan hidup, dengan perintah dan seruan Allah SWT. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Kemudian apabila Dia memanggil kalian dengan sekali panggilan dari bumi, seketika itu kalian keluar”, yakni dari bumi (kubur), sebagaimana firman-Nya: “Yaitu pada hari (ketika) Dia memanggil kalian, dan kalian mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kalian mengira, (rasanya) hanya sebentar saja kalian berdiam (di dalam kubur).” [QS. Al-Isrâ’: 52]. Dia juga berfirman: “Ia hanya sekedar satu tiupan saja kemudian tiba-tiba kalian telah hidup kembali di permukaan bumi” [QS. An-Nâzi`ât: 13-14], dan berfirman: “Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami (untuk dihisab)” [QS. Yâsîn: 53]. Ayat-ayat al-Quran seputar bab yang besar ini, yaitu argumentasi dengan makhluk akan wujud, kekuasaan dan keagungan Sang Khaliq terlalu banyak untuk disebutkan dan terlalu luas untuk dapat digali secara mendalam. Namun beberapa yang kami telah sebutkan di atas sudah memadai dan mencukupi dari penggunaan metode-metode, premis-premis, inferensi-inferensi dan kontradiksi-kontradiksi kalangan ahli mantiq. Wujud Allah Swt. terlalu tinggi, terlalu beesar dan terlalu agung untuk butuh kepada pembuktian-pembuktian dan pendalilan-pendalilan logis (ala mereka). Karena zat makhluk sendiri secara inheren telah membuktikan wujud Penciptanya yang telah menciptakannya padahal sebelum itu ia bukan apa-apa. Maka mengapa justru berdalil dengan selainnya, padahal (wujud) dirinya sendiri merupakan bukti paling nyata dan argumentasi yang paling besar. Bahkan perkara (wujud) Allah Swt. lebih agung dari itu. Tiada satupun dari musuh-musuh Allah yang mengingkari wujud-Nya melainkan (pengingkaran itu) hanyalah mukâbarah (penentangan tak berdasar). Oleh karenanya Allah Swt. berfirman tentang penentangan mereka terhadap tanda-tanda kekuasan-Nya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya” [QS. An-Naml: 14]. Lantas bagaimana lagi dengan wujud Sang Khaliq Swt. (pastilah mereka juga meyakini-Nya, meskipun mereka mengingkari-Nya). Oleh karena itu, ketika musuh-musuh Allah menentang para rasul Allah yang datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti kebenaran yang nyata, mereka menutup mulut dengan tangan (sebagai bentuk ejekan) seraya berkata: “Sungguh kami tidak percaya akan (bukti bahwa) kalian diutus (kepada kami), dan kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kalian serukan kepada kami.” Rasul-rasul mereka pun berkata: ‘Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi!?” [QS. Ibrâhîm: 9-10]. Jawaban para rasul ini mengandung dua kemungkinan makna: Pertama: Apakah ada keraguan tentang wujud Allah Swt!? Karena fitrah manusia telah menyaksikan dan mengakui wujud Allah. Pengakuan akan wujud-Nya adalah pengetahuan apriori yang telah terpatri di dalam fitrah yang sehat. Tetapi terkadang muncul keraguan pada fitrah yang tidak sehat, dan sebagian besar hal itu terjadi karena semata-mata mukâbarah dan sikap memperolok. Maka wajiblah ditegakkan kepada mereka argumentasi kebenaran agar tiada uzur bagi mereka (atas mukâbarah tersebut). Oleh karena itu para rasul memberikan petunjuk kebenaran untuk mengenal Tuhan. Mereka berkata: “Pencipta langit dan bumi”, yang telah menciptakan keduanya sejak awal mula tanpa contoh sebelumnya. Sesungguhnya, bukti-buktikebaharuan, penciptaan dan penundukan langit dan bumi sangatlah nyata, maka pastilah keduanya memiliki Pencipta; dan Dialah Allah yang tiada ilah (sesembahan yang benar) selain Dia. Dialah pencipta, ilah dan penguasa atas segala sesuatu. Makna yang kedua, perkataan para rasul: “Apakah ada keraguan terhadap Allah” yakni apakah ada keraguan dalam uluhiyyah-Nya (keberhakan-Nya atas ibadah) dan keesaan-Nya dalam penyembahan, padahal Dia adalah pencipta bagi segala makhluk, tiada yang berhak atas ibadah selain Dia semata-mata, tiada sekutu bagi-Nya?! Sesungguhnya mayoritas umat manusia telah mengakui wujud Sang Khaliq, akan tetapi turut pula disembah sesuatu selain Dia yang dijadikan sebagai perantara yang mereka anggap dapat memberikan manfaat kepada mereka atau mendekatkan mereka (kepada Tuhan)?! Dan jawaban atas kedua makna di atas ialah: tidak, yakni tidak ada keraguan padanya. Kisah Perdebatan Lain Antara Para Rasul Allah dan Musuh-Musuh-Nya Allah Tabârka wa Ta`âlâ berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan’, orang itu berkata: ‘Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan’. Ibrahim berkata lagi: ‘Sungguh Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!” Lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” [QS. al-Baqarah: 258] Para ulama tafsir dan juga ulama nasab dan sejarah berkata: Orang yang berdebat (dengan Nabi Ibrahim) tersebut ialah raja Babilonia, namanya adalah Namrud bin Kan`ân. Mereka mengisahkan bahwa Namrud berkuasa selama empat ratus tahun, dan ia telah berbuat zalim, melampaui batas dan sangat sombong. Ia lebih memilih kehidupan dunia, ketika Ibrahim a. s. menyerunya untuk beribadah hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Namun, kebodohan, kesesatan dan angan-angan yang panjang telah menggiringnya untuk mengingkari Sang Khaliq, dengan penuh keangkuhan dan mukâbarah. Ia berdebat dengan Nabi Ibrahim dalam hal ini dan bahkan mengaku sebagai Tuhan. Ketika Nabi Ibrahim Al-Khalîl a. s. berkata: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan”, Qatâdah, as-Suddy dan Muhammad bin Ishâq menafsirkan: “Yakni ketika ia memanggil dua orang yang telah dijatuhi hukuman mati, lantas ia perintahkan untuk menghukum mati salah satunya dan membebaskan yang lain, maka seakan-akan dengan itu ia telah menghidupkan yang ini dan mematikan yang itu.”[10] Sejatinya tindakannya ini sama sekali tidak dapat membantah perkataan Nabi Ibrahim di atas, tetapi merupakan perkara lain di luar dari yang diperdebatkan. Ia bukanlah sanggahan ataupun bantahan, tetapi sekedar provokasi semata-mata dan sebenarnya merupakan bentuk kehabisan argumentasi. Nabi Ibrahim a. s. sebenarnya tengah berargumentasi tentang wujud Sang Khaliq Swt. dengan peristiwa-peristiwa yang disaksikan, seperti dihidupakan dan dimatikannya makhluk hidup, bahwa semua itu ada pelaku yang melakukannya, karena mustahil semua itu terjadi dengan sendirinya. Pastilah ada pelaku dari semua kejadian yang disaksikan ini, seperti penciptaan, pengaturan dan pengontrolan terhadap peredaran planet-planet, angin, awan, hujan, dan penciptaan makhluk hidup yang dapat disaksikan, lalu kemudian dimatikan. Oleh karena itu Ibrahim AS berkata: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan”. Maka jawaban si Jahil tersebut: “Akulah yang menghidupkan dan mematikan”, jika yang ia maksud adalah dialah pelaku bagi semua peristiwa-peristiwa tersebut maka sesungguhnya dia telah melakukan mukâbarah (asal sanggah) dan berkeras kepala saja. Dan jika yang ia maksud adalah seperti penafsiran yang disampaikan oleh Qatâdah, as-Suddy dan Ibnu Ishâq tersebut maka sebenarnya ia tidak memberikan jawaban apapun yang terkait dengan argumentasi Nabi Ibrahim tersebut, karena jawabannya tidak dapat memberikan sanggahan atau bantahan bagi argumentasi beliau. Akan tetapi karena keterputusan argumentasi Si Pendebat tersebut barangkali tak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang yang menyaksikan atau yang tidak menyaksikan perdebatan itu maka beliau menyebut dalil lain yang menerangkan wujud Sang Khaliq dan mebatalkan klaim Namrud serta membungkam argumentasi lawan secara nyata: “Ibrahim berkata lagi: ‘Sungguh Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!” yakni, matahari ini ditundukkan dan diatur setiap hari untuk terbit dari timur oleh pencipta dan penguasanya, yaitu Allah Swt. yang tiada Ilah selain Dia. Jika engkau ini seperti yang engkau daku bahwa engkau bisa menghidupkan dan mematikan maka silahkan engkau terbitkan matahari dari sebelah barat. Karena sesungguhnya yang menghidupkan dan mematikan adalah Dia yang dapat melakukan apa saja yang Dia kehendaki, tiada yang dapat menghalangi ataupun mengalahkan-Nya. Dia berkuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu tunduk kepada-Nya. Jika engkau adalah seperti yang engkau daku maka lakukanlah hal ini. Jika engkau tak mampu melakukannya maka engkau tidaklah seperti yang engkau daku. Dan engkau sendiri tahu dan sumua orang pun tahu bahwa engkau tak akan mampu melakukan hal ini. Bahkan terlalu lemah, terlalu kecil dan terlalu rendah untuk dapat menciptakan nyamuk ataupun mengaturnya. Dengan demikian, Nabi Ibrahim telah memamerkan kesesatan, kebodohan dan kedustaan Namrud atas apa yang ia klaim, serta kebatilan daripada apa yang ia jalani dan bangga-banggakan di hadapan orang-orang bodoh dari kaumnya. Maka tiada lagi kata-kata yang dapat ia utarakan untuk menjadab Nabi Ibrahim AS. Ia bungkam dan hanya bisa diam. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman: “Lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” [1] Al-Baghwy (Ma`âlim at-Tanzîl: 5/238) [2] Ibnu Katsîr (4/254) [3] Al-Baghwy (Ma`âlim at-tanzîl, 5/229) [4] Al-Baghwy (Ma`âlim at-tanzîl, 5/229) [5] Al-Baghwy (Ma`âlim at-tanzîl, 5/229) [6] Al-Baghwy (Ma`âlim at-tanzîl, 5/229) [7] Berdasarkan riwayat Wakî` dari Sufyân, dari ayahnya (Ibnu Katsîr/208). Abu Adh-Dhuhâ adalah Muslim bin Shabîh, dari Ar-Râbi`ah. Oleh karena itu hadis ini berstatus mu`dhal (terputus dua rantai sanadnya secara berurutan). Tetapi jalur sanad ini yang sampai ke dia (Abu Adh-Dhuhâ) adalah sahih. Adapun Sufyân yang dimaksud ialah Ibnu Sa`îd bin Msrûq, dan keduanya adalah rawi yang tsiqah (kredibel dan terpercaya). [8] Tafsir Ibnu Katsîr (1/207), tafsir Surat Al-Baqarah ayat 164. [9] Ahmad (4/400), At-Tirmidzi (5/204/ no. 2955) dalam “at-tafsir”, bab: “Dari Surat Al-Baqarah”, dan berliau berkomntar tentang hadis ini: “Hadis Hasan Sahih”. Abu D^awûd (4/222/no.4693) dalam “As-Sunnah”, bab: Al-Qadr. Dan sanad hadis ini: Sahih. [10] Tafsir Ibnu Katsîr (1/320-321) Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislamtauhid